Buktinya, salah satu karya Eko terinspirasi dari petani di lingkungannya yang harus menghadapi kenyataan bahwa anak dan cucunya tidak lagi mau mengurus sawah.
Dalam banyak kasus, segala bentuk inspirasi tersebut akan ia serap terlebih dahulu, dipilah, lalu ditransformasikan menjadi visual, kalimat, pesan, atau simbol-simbol ekspresi lainnya.
"Kalau bagi saya di mana pun saya ditempatkan, saya berada, saya akan menyerap. Itu adalah ide karena saya enggak akan kehabisan. Saya selalu bilang bahwa ide saya dari sekitar saya," katanya.
Dahulu, ketika banyak anak sepantaran yang putus pendidikan, Eko justru menyukai sekolah. "Saya selalu enggak beruntung ketika main layangan. Saya orang yang enggak bisa ngunduh layangan. Bahkan menaikkan layangan agak susah buat saya. Itu sering diejek," tutur Eko saat mengilas balik masa kecilnya.
"Yang kedua, main gambar wayang, umbul. Saya enggak punya keahlian itu. Main kartu, saya enggak punya keahlian untuk bagaimana strategi agar menang," imbuh Eko. Ia lalu menyadari bahwa satu-satunya aktivitas yang menyenangkan dirinya adalah menggambar.
Oleh karena itu, Eko mulai mengeksplorasi berbagai medium untuk menuangkan kreativitasnya. Mulai dari buku pelajaran hingga tembok atau halaman milik orang. Tidak jarang, ia mendapat omelan akibat kegiatannya tersebut.
Lulusan Institut Seni Indonesia Yogyakarta ini berkata, melalui sekolah ia mendapat hal-hal yang tidak didapatkannya di lingkungan tempat ia tinggal. Begitu tinggi antusiasme Eko terhadap ilmu pengetahuan, ia menganggap ancaman yang paling ditakuti ialah larangan untuk bersekolah.
"Kan saya pernah mbeling nih, nakal. Main, enggak pulang, terus dicari, terus geger semua sekeluarga. "Kalo kamu gitu, ngumpulnya sama anak-anak gitu, kamu enggak usah sekolah". Saya nangis."
Dari sana, ia menyadari bahwa hal yang ia takutkan adalah kesempatan untuk terus mencari tahu, yang tidak lain adalah melalui sekolah. Selama menjadi seniman, Eko merasakan manfaat dari adanya insting untuk mencari tahu, sebagaimana yang ia jelaskan melalui analogi spons.
Cerita ini dikutip dari episode ke-9, season dua siniar BEGINU bertajuk Eko Nugroho, Seni Jalanan, Spons, dan Filsafat Ember Bocor yang memuat perbincangan antara Eko Nugrono dan Wisnu Nugroho, jurnalis, penulis, dan pemimpin redaksi Kompas.com. Dengarkan kisah selengkapnya di Spotify. Klik di sini untuk mendengarkan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.