Sosiolog Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Surakarta Drajat Tri Kartono menjelaskan, munculnya aksi main hakim sendiri basisnya adalah ketidakpercayaan warga pada institusi penegak hukum dan lembaga-lembaga pemasyarakatan.
Menurutnya, anggapan warga ketika menyerahkan pelaku kejahatan ke polisi adalah terjadi ketidakadilan terhadap mereka.
"Ketidakadilannya apa? Kalau nanti dia ditangkap, nanti keluar lagi, merampok lagi, masyarakat tidak percaya dengan institusi penegak hukum dan lembaga pemasyaratan betul-betul bisa membuat jera orang," kata Drajat kepada Kompas.com, Jumat (29/10/2021).
Baca juga: Soal Kawin Tangkap di Sumba dan Budaya Kekerasan terhadap Perempuan...
Lebih lanjut, Drajat menyebut warga yang main hakim sendiri ini sebagai perilaku kekerasan kolektif. Ia menyebut ada tiga jenis kekerasan kolektif.
Pertama, kekerasan kolektif instrumental yang dilakukan secara bersamaan sebagai bentuk pembelaan, seperti menghakimi pelaku kejahatan.
Kedua, kekerasan kolektif yang terjadi karena demonstration effect atau ikut-ikutan.
Baca juga: Mengapa Kasus Kekerasan di Sekolah Taruna Masih Terjadi?