Ketika tidak ada penemuan yang bisa menjelaskan kondisi mereka dalam pemindaian tersebut, para peneliti meduga jawabannya mungkin terletak pada cairan serebrospinal.
Tim mikrobiologi MSK kemudian merancang tes untuk mendeteksi virus Covid-19 di dalam cairan serebrospinal. Tiga belas dari 18 pasien diambil cairan tulang belakangnya untuk mencari adanya virus corona.
Baca juga: Alami Badai Sitokin Setelah Sembuh Covid-19, Apa yang Perlu Diketahui?
Dari situ peneliti menemukan, bahwa pasien terus memiliki tingkat badai sitokin yang tinggi, memberi sinyal molekul yang disekresikan dari sel kekebalan yang terlibat dalam peradangan, dalam cairan serebrospinal beberapa minggu setelah infeksi awal.
"Kami menemukan bahwa pasien ini mengalami peradangan yang terus-menerus dan tingkat sitokin yang tinggi dalam cairan serebrospinal mereka, yang menjelaskan gejala yang mereka alami," kata Dr Jan Remsik, salah satu penulis makalah tersebut.
Virus corona sendiri tidak ditemukan dalam cairan serebrospinal dan scan otak.
Beberapa teori tentang brain fog atau kabut otak penyebab delirium ini menunjukkan, bahwa gejala neurologis Covid-19 disebabkan oleh SARS-CoV-2 yang menyerang otak secara langsung.
Keberadaan sitokin dalam cairan serebrospinal menunjukkan bahwa sel-sel kekebalan mampu melewati sawar darah-otak dan memasuki sistem saraf pusat.
Merangkum hasil penelitian ahli virologi dan imunologi dari Georgia State University di Atlanta, Mukesh Kumar, jumlah sitokin yang diproduksi oleh sel sebagai respons terhadap infeksi Covid-19 sekitar 50 kali lebih tinggi daripada infeksi virus Zika atau West Nile.
Setelah itu, sel mulai mengirim sinyal bahaya. Ketika setiap sel merasakan bahwa ada sesuatu yang buruk terjadi, sel akan langsung meresponnya dengan membunuh dirinya sendiri.
Baca juga: Peneliti Ungkap Badai Sitokin Sebabkan Delirium, Kebingungan yang Dialami Pasien Covid-19
"Jika ada banyak sel yang melakukan hal ini pada saat bersamaan, banyak jaringan yang bisa mati," ucap Khumar.
Pada pasien Covid-19, jaringan tersebut sebagian besar berada di paru-paru. Saat jaringan rusak, dinding kantung udara kecil paru-paru menjadi bocor dan berisi cairan.
Kondisi ini bisa menyebabkan pneumonia dan darah kekurangan oksigen.
Ketika paru-paru rusak parah, sindrom gangguan pernapasan akan terjadi. Kemudian organ lain mulai gagal berfungsi.
Sumber: Kompas.com (Penulis: Ariska Puspita Anggraini, Nur Rohmi Aida, Bestari Kumala Dewi)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.