Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jaya Suprana
Pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan

Penulis adalah pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan.

Ramayana, Mahabharata, dan Wayang Purwa

Kompas.com - 28/01/2021, 10:49 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KISAH Ramayana memang seru akibat perang antara pasukan wanara melawan pasukan raksasa dalam kemelut perjuangan Rama memerdekakan Shinta dari cengkeraman Rahwana.

Kisah Rama membangun jembatan menyeberangi selat yang memisahkan daratan India dengan Srilanka menakjubkan sebagai mahakarya teknologi dahsyat yang sampai masa kini belum pernah terwujud.

Namun bagi saya pribadi terkesan bahwa Ramayana relatif kurang mengandung makna filosofis dibandingkan dengan Mahabharata.

Suasana diskriminasi gender juga lebih hadir di Ramayana akibat paksaan terhadap Shinta untuk membuktikan kesucian dirinya dengan menempuh ujian kobaran api sementara Rama sama sekali tidak perlu melakukan pembuktian kesucian dirinya sendiri.

Wayang Purwa

Menarik bahwa kisah Ramayana lebih diterima secara relatif utuh sementara Mahabharata mengalami beberapa modifikasi sebelum diterima ke dalam kisah Wayang Purwa.

Misalnya Srikandi di Mahabharata adalah seorang lelaki menyamar sebagai perempuan demi mewujudkan kehendak para dewata bahwa Bisma Dewabrata hanya bisa dibunuh oleh seorang yang bukan lelaki sekaligus bukan perempuan.

Sementara Srikandi di Wayang Purwa benar-benar berjenis kelamin perempuan yang kemudian dinikahi oleh Arjuna. Maka, sementara menurut Wayang Purwa jelas bahwa para istri Arjuna seperti Subadra berputra Abimanyu, Dewi Ulupi berputra Bambang Irawan, Drasanala berputra Wisanggeni namum tidak pernah jelas Srikandi berputra siapa.

Di dalam Wayang Purwa, Bambang Ekalaya dialihnamakan menjadi Palgunadi sementara Arjuna diganti nama menjadi Palguna demi menghadirkan lelakon Palguna-Palgunadi yang sama sekali tidak ada di Mahabharata.

Namun mahakarya kreativitas peradaban Jawa adalah Punakawan terdiri dari Semar, Petruk, Gareng, Bagong yang mendampingi Pandawa dan Togog dan Bilung yang mendamping Kurawa yang hanya hadir di Wayang Purwa tanpa pernah hadir di Mahabharata mau pun Ramayana yang dipersatukan oleh Wayang Purwa dijembatani legenda Arjunasasrabahu asli sebagai kreativitas peradaban Jawa.

Banyak tafsir terhadap epos Mahabharata mau pun lelakon Wayang Purwa terkait Pandawa dan Kurawa.

Kepentingan

Sementara baik-buruknya para tokoh di Ramayana nisbi tergantung versi India atau Sri Lanka, saya pribadi setuju tafsir Gus Dur yang menegaskan bahwa sebenarnya tidak ada yang jahat mau pun yang baik pada kisah Mahabharata mau pun Wayang Purwa.

Yang ada hanya kepentingan analog situasi kondisi politik perebutan kekuasaan di mana pun juga termasuk di Indonesia masa kini.

Di atas panggung politik perebutan kekuasaan memang baik-buruk bukan pedoman utama karena hanya kepentingan belaka lah yang menjadi pedoman utama para politisi sejati.

Bagi Kurawa, Sengkuni adalah pahlawan yang membela kepentingan Kurawa sementara Kresna adalah pengkhianat terhadap kepentingan Kurawa.

Sebaliknya Kresna adalah pahlawan bagi Pandawa sekaligus pengkhianat bagi Kurawa. Sama halnya Wibisana adalah pahlawan penegak kebenaran bagi Sri Rama sementara pengkhianat bagi Rahwana.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com