Analis senior untuk kawasan Kaukasus Selatan di International Crisis Group Olesya Vartanyan mengatakan, Rusia belum memberikan perhatian pada kawasan itu ketika benih-benih peperangan mulai muncul sejak Juli 2020 lalu.
"Justru kurangnya reaksi terhadap eskalasi Juli yang membuka jalan bagi permusuhan skala besar. Kami belum melihat upaya untuk membawa para pemimpin ke meja perundingan dan belum melihat kunjungan pejabat tinggi," kata dia.
"Semua mata sekarang tertuju pada Moskow untuk melihat apakah itu dapat kembali menghentikan pertempuran di zona konflik," lanjutnya.
Perdana Menteri Armenia Nikol Pashinyan pada Selasa (29/9/2020) mengatakan bahwa ia tidak mempertimbangkan untuk meminta dukungan Moskow, tetapi juga tidak menutup kemungkinan itu.
Baca juga: Belajar dari Kisah Cynthia, Survivor Covid-19 di Negeri Singa
Negara yang dihuni oleh mayoritas Muslim Syiah ini memiliki perbatasan langsung dengan Azerbaijan dan Armenia.
Meski mayoritas penduduk Azerbaijan bermazhab Syiah, Iran dilaporkan mendukung Armenia karena hubungan perdagangan serta aliansi politik Teheran dan Moskow.
"Iran selalu memainkan peran penyeimbang tanpa mengambil posisi di salah satu pihak," jelas Vartanyan.
"Teheran saat ini prihatin dengan pertempuran yang sedang terjadi tepat di sebelah perbatasannya. Beberapa laporan menyebut granat dan proyektil lainnya mencapai wilayahnya," sambungnya.
Baca juga: Melihat Dua Drone Canggih Turki, Pengubah Permainan di Suriah
Sejak 1990-an, Iran berusaha melakukan gencatan senjata antar kedua belah pihak di Nagorono-Karabakh, tetapi selalu gagal.
Pada Rabu (30/9/2020), Pashinyan membahas konflik tersebut dengan Presiden Ira Hassan Rouhani melalui panggilan telepon.
Kedua pempipin itu juga disebut membahas keterlibatan Turki dalam konflik, tetapi dibantah oleh sekutu Ankara, Azerbaijan.
Baca juga: 4 Kepala Negara yang Sumbangkan Gaji Perangi Covid-19, dari Donald Trump hingga Erdogan