KOMPAS.com - Minggu lalu, umat Muslim di seluruh dunia memulai puasa ramadhan. Di Indonesia, puasa ramadhan dimulai Jumat, 24 April 2020.
Puasa ramadhan ini akan dicatat dengan tinta tebal dalam perjalanan peradaban kita. Situasi pandemi Covid-19 yang membuat kita bekerja dari rumah, belajar dari rumah dan beribadah di rumah untuk memutus rantai penyebaran virus membuat puasa kali ini berbeda.
Selamat menjalankan ibadah puasa, ya. Sambil menjalankan ibadah puasa, saya mau bantu update apa saja hal-hal yang perlu kamu ketahui sepekan terakhir.
Pekan lalu, pemerintah mengeluarkan larangan mudik untuk semua. Ini salah satu pembeda puasa kali ini dengan puasa-puasa sebelumnya. Mudik dilarang karena aktivitas selama mudik punya potensi besar meluaskan penularan Covid-19.
Kita tahu, sejak 2 Maret 2020, saat pasien positif pertama didapati, kurva penambahan jumlah pasien positif covid-19 belum juga turun.
Sebelumnya, pemerintah memberikan larangan mudik untuk ASN, TNI, Polri, dan pegawai BUMN. Namun, karena menurut hasil sejumlah survei masih ada sekitar 24 persen warga masyarakat yang bersikeras hendak mudik, larangan diberlakukan umum.
24 persen nekat mau mudik
Dengan acuan jumlah pemudik 2019 dari Jabodetabek (zona merah) yang mencapai 15 juta orang, 24 persen yang bersikeras mudik itu setara dengan 3,6 juta orang ke seluruh Indonesia.
Terkait larangan mudik yang biasanya dilakukan di pekan terakhir ramadhan, muncul polemik karena pembedaan antara mudik dan pulang kampung. Polemik muncul karena Presiden Jokowi membedakan dua istilah itu.
Tidak sulit membedakan istilah ini. Mudik terkait hari raya, dilakukan "orang kota" dengan waktu sangat sementara . Pulang kampung terkait kesulitan ekonomi dan dilakukan perantau untuk jangka waktu yang lebih lama. Secara sosiologis, pembedaan ini juga jelas.
Jika jeli, lewat pengalaman harian, kita bisa membedakan mudik dari pulang kampung. Mudik dilarang, pulang kampung sebelum larangan mudik masih dimungkinkan.
Dari pemudik dan yang pulang kampung, ancaman penyebaran covid-19 mungkin sama, tapi konsekuensi dan penanganannya menjadi berbeda. Kita berharap, daerah yang mendapati warganya pulang kampung siap dan tertib dengan protokol keamanan.
Dua staf khusus milenial Jokowi mundur
O ya, soal ketertiban ini, pekan lalu kita mendapati kabar mundurnya dua Staf Khusus Presiden Jokowi karena konflik kepentingan. Keduanya adalah Belva Devara dan Andi Taufan. Presiden Jokowi meluluskan permintaan keduanya mundur.
Selama lebih dari sebulan bekerja dari rumah, belajar dari rumah dan beribadah di rumah, apa hal-hal baru yang menjadi normal buatmu?
Kalau saya, aktivitas yang semula dilakukan tatap muka langsung, kini sudah terasa normal jika harus via online. Di awal-awal terasa janggal, namun kini menjadi biasa. Mengajar salah satunya.
Kamu pasti mendapati hal-hal baru yang berangsur normal seperti meeting, belajar, beribadah dan bercengkerama dengan teman-teman tentang hal-hal tidak penting via online.
Namun, karena isu keamanan, kamu perlu memastikan pilihan aplikasi atau perangkat yang kamu gunakan. Untuk Zoom yang mendadak menjadi sangat populer, tingkat keamanannya ternyata rendah.
Kamu bisa berpikir ulang jika hendak menggunakannya. Setidaknya ada enam alternatif pilihan bisa digunakan.
Simpang-siur Kabar dari Korea Urata
Bicara soal alternatif, pekan lalu saya dan tim redaksi kebingungan mendapati kabar simpang siur terkait kondisi kesehatan Presiden Korea Utara Kim Jong Un.
Kebingungan itu terjadi lantaran minimnya akses dan informasi dari Korea Utara yang memilih menutup diri dari dunia. Jangankan bicara alternatif informasi, informasi yang resmi saja tidak bisa dijadikan acuan lantaran tidak bisa diverifikasi.
Berita konfirmasi kesehatan Kim Jong Un disampaikan ke publik. Namun, spekuilasi tidak juga surut lantaran sulitnya memverifikasi klaim kondisi kesehatan itu ke pihak lain yang bisa dipercaya.
Dalam jurnalistik, kebenaran bisa didapati jika verifikasi yang dilakukan membenarkan hal itu. Tentu saja, kita berharap kondisi kesehatan Kim Jong Un sehat-sehat saja. Ancaman lain akan mengintai jika ternyata kondisi sebaliknya yang terjadi.
Metode jurnalistik dengan melakukan verifikasi ini bisa kamu gunakan juga untuk memastikan sebuah informasi yang memabanjiri gawai yang ada di tanganmu. Sikap dasar yang parlu kamu miliki adalah skeptis atau ragu.
Menghadapi ketidakpastian
Kenapa sikap skeptis atau ragu khususnya di era Covid-19 ini penting? Studi yang dilakukan KG Media Research yang rilisnya disampaikan pekan lalu membedah hal ini. Studi itu berjudul Indonesia Bingung: Perilaku Konsumen Indonesia di Tengah Wabah Covid-19.
Dengan sikap skeptis atau meragu-ragu, kebingungan yang dihadirkan karena ketidakpastian karena Covid-19 bisa dikurangi. Atau, setidaknya kita tidak berkontribusi menambah kebingungan orang lain karena sikap kehati-hatian yang didasari sikap spektis ini.
Ada tiga temuan dari studi KG Media Research untuk brand di tengah ketidakpastian yang panjang: mengurangi kebingungan, melipur lara, dan penggerak sosial. Dari tiga temuan itu, ada peran-peran sentral ibu, "penguasa" rumah saat semua aktivitas dilakukan dari dan di rumah.
Baca juga: Perempuan dalam Pingitan Pandemi Corona
Perjuangan para perempuan, perjuangan para ibu telah meredakan ketidakpastian lewat naluri perlindungannya yang total dan tanpa pamrih.
Kita masih ingat bagaimana ketidakpastian kita secara eksistensial sebelum lahir ke dunia dipastikan oleh ibu, dicukupkan oleh ibu, dipelihara oleh ibu, dalam rahimnya.
Mari menghadapi ketidakpastian ini dengan mengedepankan naluri seorang ibu.
Salam untuk Ibu,
Wisnu Nugroho
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.