SESAAT setelah pelantikan 34 menteri Kabinet Indonesia Maju pada 23 Oktober 2019, Presiden Joko Widodo menyampaikan 7 pesan penting kepada mereka.
Pesan pertama dan yang paling utama adalah jangan korupsi dan ciptakan sistem yang menutup celah terjadinya korupsi.
Pesan "jangan korupsi" yang disampaikan Jokowi kepada seluruh menteri yang baru dilantik nampaknya bentuk ultimatum agar para pembantudi bawahnya tidak terjebak dalam pusaran korupsi.
Wajar saja Jokowi resah karena di periode pertama pemerintahannya sudah ada dua menteri aktif yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi.
Keduanya adalah Menteri Sosial Idrus Marham yang menjadi tersangka kasus suap proyek pembangunan PLTU I-Riau dan Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi yang menjadi tersangka dalam kasus dana hibah Komite Olahraga Nasional Indonesia melalui Kemenpora.
Idrus Marham bahkan telah divonis 3 tahun penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan saat ini masih mendekam di penjara.
Fenomena korupsi di lingkungan kementerian dalam beberapa tahun terakhir sungguh memprihatinkan.
Berdasarkan pantauan Indonesia Corruption Watch, sudah ada 18 kementerian atau lebih dari separuh dari jumlah kementerian yang pernah tersangkut kasus korupsi.
Data Komisi Pemberantasan Korupsi menyebutkan telah menangani 231 kasus korupsi di sejumlah kementerian. Delapan kasus diantaranya telah menjerat mantan menteri atau menteri aktif.
Praktik korupsi yang menonjol di berbagai kementerian, antara lain korupsi pengadaan barang jasa, perjalanan dinas, jual-beli jabatan, penyuapan, dan gratifikasi.
Selain karena persoalan integritas, terdapat tiga faktor penyebab terjadinya korupsi di lingkungan kementerian.
Pertama, penempatan posisi menteri yang cenderung politis dan tidak selektif. Menteri-menteri dipilih umumnya lebih didasarkan atas kontribusi politik dan finansial selama menjadi tim sukses calon presiden.
Hanya segelintir menteri yang dipilih berdasarkan pada kompetensi, kualitas, dan integritas.
Kondisi juga diperburuk dengan kebiasaan nepotisme para menteri menempatkan staf khusus atau pejabat penting lainnya yang satu partai dengannya.
Terpilihnya menteri dari partai politik maupun tim sukses sangat rentan dimanfaatkan untuk kepentingan pengumpulan modal politik baik untuk ia pribadi maupun partai.