Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Drs. Agun Gunandjar Sudarsa,Bc. Ip., M.Si
Anggota DPR/MPR RI

Anggota DPR/MPR RI, politisi senior Partai Golkar

Pembenahan Partai Politik sebagai Solusi Pemberantasan Korupsi

Kompas.com - 09/12/2019, 22:08 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Selama faktor itu belum diselesaikan, maka jangan berharap korupsi bisa diatasi dan dihilangkan.

Dengan adanya politik biaya tinggi, maka partai politik juga akan semakin tidak demokratis, bahkan semakin oligarki, karena dikuasai dan dikendalikan oleh para pemodal, orang-orang kaya, dan penguasa.

Kesimpulan dan rekomendasi

Pascareformasi, kita menyaksikan terjadinya penguatan kewenangan partai politik. Berbeda dengan era Orde Baru, di mana partai politik hanya sebagai boneka penguasa, di era reformasi kewenangan partai politik begitu besar hampir di semua proses kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kekuasaan yang besar ini tentu saja diikuti dengan kebutuhan partai yang besar pula untuk menjalankan fungsinya, terutama untuk mempertahankan keberadaannya dan mengupayakan berbagai cara untuk memenangkan pertarungan elektoral.

Namun sayangnya, besarnya pengeluaran ini tidak dibarengi dengan pendapatan atau pemasukan yang memadai.

Pendapatan partai politik sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Partai Politik, mencakup lima sumber, yaitu iuran anggota, sumbangan perseorangan anggota, sumbangan perseorangan bukan anggota, sumbangan badan usaha, dan subsidi negara.

Subsidi negara yang diharapkan dapat menjadi pendapatan yang memadai bagi operasional partai, ternyata belum memadai demi menjaga berlangsungnya fungsi partai selaku pilar demokrasi.

Padahal, solusi membenahi parpol agar mandiri, di tengah biaya politik yang makin tinggi ini, adalah kehadiran negara melalui subsidi yang memadai.

Sesungguhnya pendanaan parpol yang relatif lebih baik pernah dilakukan pada masa reformasi, di saat pemerintahan Abdurahman Wahid, melalui PP 51 tahun 2001 tentang Bantuan Keuangan Kepada Partai Politik, yang besarnya Rp 1.000 per suara.

Angka subsidi untuk partai politik itu cukup besar bila melihat APBN kita waktu itu yang hanya sekitar Rp 1.400 triliun.

Sayangnya, di era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2005, subsidi dana parpol diubah hanya sebesar Rp 108 per suara.

Akibatnya, parpol mengalami kesulitan keuangan, dan menjadi sulit untuk mandiri dalam melakukan fungsinya.

Maka, tidak heran jika pasca-2004 partai politik berlomba-lomba masuk ke pemerintahan dan membentuk kartel politik.

Akibatnya, parpol cenderung transaksional dan pragmatis, serta mengenyampingkan ideologi dalam perjuangannya.

Kita bersyukur, pada tahun 2018 pemerintah menyadari akan kondisi itu, dengan dikeluarkannya PP Nomor 1 Tahun 2018 yang mengembalikan besarnya subsidi untuk partai per suara sebesar Rp 1.000.

Namun, negara perlu mengkaji dengan serius antara besaran subsidi dan aspek proporsionalitas terhadap postur APBN kita.

Menginat tidak masuk akal kalau kita ingin membangun partai yang bermartabat, bersih, dan mandiri, jika negara hadir hanya memberikan Rp 130 miliar per tahun untuk 9 partai politik (dengan asumsi suara sah pemilu 2019 sebesar 130 juta). Padahal, postur APBN kita saat ini sebesar Rp 2.300 triliun.

Bagaimana mereka bisa melakukan kaderisasi, musyawarah daerah, pendidikan politik, dan sebagainya dengan dana minim? Maka, tidak heran jika proses pencalonan marak korupsi.

Apa kita tidak mau untuk maju karena selalu berkutat di masalah korupsi politik itu saja?

Penulis adalah orang yang selalu konsiten di setiap forum rapat di DPR terkait dana partai yang ideal, walau belum ada kajian yang kredibel terkait kebutuhan partai politik dalam menjalankan fungsinya.

Namun, kalau kita asumsikan misalnya anggaran subsidi parpol itu ditingkatkan dari Rp 1.000 menjadi Rp 10.000 per suara, sesungguhnya negara sudah memiliki kemauan untuk membenahi partai politik.

Walaupun jika dilihat total subsidinya yaitu Rp 1,3 triliun, angka yang relatif kecil dibandingkan dengan postur APBN kita saat ini sebesar Rp 2.300 triliun.

Dengan bantuan yang lebih besar itu, kita bisa memberikan harapan parpol yang mandiri dan bisa menjauhkan diri dari pendanaan ilegal.

Kedua, partai politik sebagai pilar demokrasi harus kembali kepada falsafah demokrasi, di mana pengambilan keputusan harus dilakukan melalui mekanisme kolektif-kolegial sehingga meminimalisasi terjadinya praktik oligarki dalam kepengurusan partai.

Mengingat kepartaian yang teroligarki itu dapat menimbulkan kooptasi langsung maupun tidak langsung terhadap kekuasaan politik, yang pada akhirnya akan menciptakan struktur kebijakan publik yang mudah dikontrol oleh kekuataan oligarkis.

Ketiga, dalam menjalankan fungsi agregasi dan mengartikulasi aspirasi masyarakat untuk mewujudkan kesejahteraannya, parpol harus semakin dekat dengan rakyat, dan tidak elitis.

Secara umum, partai-partai era reformasi masih dicirikan oleh rendahnya kemauan dan kemampuan profesional mereka dalam membentuk serta memelihara konstituen.

Sebagian besar partai mendekati masyarakat manakala mereka membutuhkan suara dukungan dalam pemilu. Padahal, korupsi politik memiliki hubungan erat dengan artai politik.

Samuel Huntington pernah mengatakan bahwa makin lemah dan kian tidak diterimanya partai politik oleh publik, maka makin besar kemungkinan terjadinya korupsi politik.

Saat ini ada kecenderungan bagaimana partai-partai dalam menyelenggarakan acara seperti musyawarah nasional (nasional) lebih memilih di hotel-hotel mewah ketimbang di tempat yang dekat dan terbuka bagi rakyat untuk berpartisipasi.

Ke depan seharusnya acara kepartaian seperti munas atau kongres sekalipun lebih mendekat kepada rakyat, seperti di lapangan terbuka, sehingga membuka peluang rakyat berpartisipasi dan menyaksikan.

Kedekatan antara partai dengan rakyatnya adalah penting, karena jika hubungan itu menjauh atau bersifat labil, situasi ini berpengaruh terhadap perkembangan partai politik, sehingga arah hubungan lebih banyak dipengaruhi dari faktor eksternal, seperti upaya politik transaksional (money politics) yang dianggap dapat memenuhi tuntutan dan kebutuhan pragmatisme pemilih.

Maka, sudah saatnya kita serukan, "Benahi partai, berantas korupsi!"

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Link Live Streaming Final Thomas dan Uber Cup 2024, Indonesia Vs China

Link Live Streaming Final Thomas dan Uber Cup 2024, Indonesia Vs China

Tren
Konsumsi Vitamin C Berlebihan Bisa Sebabkan Batu Ginjal, Ketahui Batas Amannya

Konsumsi Vitamin C Berlebihan Bisa Sebabkan Batu Ginjal, Ketahui Batas Amannya

Tren
Melestarikan Zimbabwe Raya

Melestarikan Zimbabwe Raya

Tren
Prakiraan BMKG: Wilayah Berpotensi Hujan Lebat dan Angin Kencang pada 5-6 Mei 2024

Prakiraan BMKG: Wilayah Berpotensi Hujan Lebat dan Angin Kencang pada 5-6 Mei 2024

Tren
[POPULER TREN] Kronologi dan Motif Suami Mutilasi Istri di Ciamis | Peluang Indonesia vs Guinea

[POPULER TREN] Kronologi dan Motif Suami Mutilasi Istri di Ciamis | Peluang Indonesia vs Guinea

Tren
5 Kasus Pembunuhan Mutilasi yang Jadi Sorotan Dunia

5 Kasus Pembunuhan Mutilasi yang Jadi Sorotan Dunia

Tren
Daftar Terbaru Kereta Ekonomi New Generation dan Stainless Steel New Generation, Terbaru KA Lodaya

Daftar Terbaru Kereta Ekonomi New Generation dan Stainless Steel New Generation, Terbaru KA Lodaya

Tren
Daftar Sekolah Kedinasan yang Buka Pendaftaran pada Mei 2024, Lulus Bisa Jadi PNS

Daftar Sekolah Kedinasan yang Buka Pendaftaran pada Mei 2024, Lulus Bisa Jadi PNS

Tren
Sering Dikira Sama, Apa Perbedaan Psikolog dan Psikiater?

Sering Dikira Sama, Apa Perbedaan Psikolog dan Psikiater?

Tren
Benarkah Kucing Lebih Menyukai Manusia yang Tidak Menyukai Mereka?

Benarkah Kucing Lebih Menyukai Manusia yang Tidak Menyukai Mereka?

Tren
Banjir di Sulawesi Selatan, 14 Orang Meninggal dan Ribuan Korban Mengungsi

Banjir di Sulawesi Selatan, 14 Orang Meninggal dan Ribuan Korban Mengungsi

Tren
Buah-buahan yang Aman Dikonsumsi Anjing Peliharaan, Apa Saja?

Buah-buahan yang Aman Dikonsumsi Anjing Peliharaan, Apa Saja?

Tren
BPOM Rilis Daftar Suplemen dan Obat Tradisional Mengandung Bahan Berbahaya, Ini Rinciannya

BPOM Rilis Daftar Suplemen dan Obat Tradisional Mengandung Bahan Berbahaya, Ini Rinciannya

Tren
Arkeolog Temukan Vila Kaisar Pertama Romawi, Terkubur di Bawah Abu Vulkanik Vesuvius

Arkeolog Temukan Vila Kaisar Pertama Romawi, Terkubur di Bawah Abu Vulkanik Vesuvius

Tren
Kapan Seseorang Perlu ke Psikiater? Kenali Tanda-tandanya Berikut Ini

Kapan Seseorang Perlu ke Psikiater? Kenali Tanda-tandanya Berikut Ini

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com