Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kasus Prostitusi PA, Bagaimana Seharusnya Penegakan Hukumnya?

Kompas.com - 27/10/2019, 20:33 WIB
Rosiana Haryanti,
Resa Eka Ayu Sartika

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Kabar mengenai prostitusi yang dilakukan oleh PA menyebar di kalangan masyarakat. Tak hanya di percakapan sehari-hari, kasus prostitusi yang menjerat para figur publik pun menarik perhatian warganet.

Selain kasus PA, masyarakat juga sempat dikejutkan dengan penangkapan artis VA terkait kasus serupa awal tahun ini.

Setelah melalui berbagai proses, VA akhirnya ditetapkan sebagai tersangka karena diduga mengeksploitasi dirinya sendiri dengan menyebar gambar dan video vulgar kepada mucikari.

Hal ini kemudian menimbulkan perdebatan. Banyak yang menganggap jika para pekerja seks komersial layak untuk dipidana. Tetapi ada juga yang beranggapan jika mereka merupakan korban eksploitasi.

Baca juga: Kasus Prostitusi PA, Bukti Penegak Hukum Indonesia Masih Bias Gender?

Lalu sebenarnya bagaimana sebaiknya masyarakat memandang pelacuran dan para pekerja seks komersial?

Dua cara pandang

Pemberitaan Kompas.com 10 Januari 2019 menyebutkan, dalam The 1995 Platform of Action pada Konferensi Dunia tentang Perempuan di Beijing memandang pelacuran atau prostitusi ke dalam dua garis besar, yakni involuntary prostitution (forced prostitution) dan voluntary prostitution.

Menurut psikolog forensik Reza Indradagiri Amriel, jika melihat dua cara pandang tersebut, sebaiknya para pekerja seks yang termasuk ke dalam tipe voluntary prostitute tidak dapat dibela dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UUTPPO).

Reza juga menganggap, tak hanya pekerja seks, namun germo dan tamu juga harus mendapatkan sanksi pidana.

Meski begitu, menurut Direktur LSM Rifka Annisa, Harti Muchlas, ada dua arus besar dalam memandang kasus prostitusi.

Cara pendang pertama adalah melihat prostitusi sebagai hak pekerja. Maka dalam hal ini muncul istilah sex worker atau pekerja seks.

Sementara di lain pihak, ada yang memandang prostitusi sebagai eksploitasi manusia khususnya perempuan. Cara pandang ini kemudian memunculkan istilah prostitude women atau perempuan yang dilacur.

Kemudian, dua arus besar cara pandang ini kemudian melahirkan pendekatan yang berbeda dalam menyelesaikan masalah prostitusi.

"Misalnya yang melihat sex worker, dia akan mengadvokasi adanya pelegalan lokalisasi prostitusi," ucap Harti menjawab Kompas.com, Minggu (27/10/2019).

Seolah sukarela

Namun sebaliknya, bagi mereka yang melihat prostitusi sebagai eksploitasi maka akan melihat perempuan maupun mereka yang menjajakan tubuhnya sebagai obyek yang dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu.

Harti sendiri memandang prostitusi sendiri sebagai eksploitasi. Menurutnya, sistem ekonomi, media, dan faktor-faktor lain telah mengeksploitasi perempuan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com