Agar lebih optimal, KPK selanjutnya dapat menelisik sejumlah kebijakan cukai rokok yang berpotensi menyebabkan penerimaan negara menjadi tidak optimal.
Baru-baru ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengumumkan bahwa pemerintah akan menaikkan tarif cukai rokok rata-rata 23 persen serta harga jual eceran minimum rata-rata 35 persen pada tahun 2020.
Kenaikan ini patut diapresiasi, mengingat tujuan pengenaan cukai ialah untuk mengurangi konsumsi rokok di Indonesia dan melindungi kesehatan masyarakat.
Kenaikan cukai rokok juga dianggap akan menambah penerimaan negara yang sangat dibutuhkan pemerintah untuk menunjang pembangunan yang sedang gencar dilaksanakan.
Terlepas dari kontroversi antara pihak yang mendukung dan menentang kenaikan cukai rokok tahun depan ini, ada satu masalah yang belum diselesaikan, yaitu aturan cukai rokok yang kompleks dan ketinggalan zaman, sehingga menimbulkan banyak celah.
Akibat dari celah tersebut, kenaikan cukai pada 2020 tidak akan optimal dalam mengurangi konsumsi rokok maupun tidak mampu mencegah hilangnya potensi penerimaan negara.
Pertama, peraturan cukai saat ini masih memperbolehkan diskon rokok semurah mungkin, selama produk tersebut tidak dijual di lebih dari 40 kota. Celah ini memungkinkan rokok dijual dengan harga di bawah harga jual eceran yang sudah diatur.
Seharusnya, batasan harga rokok terendah hanya bisa dijual sebesar 15 persen di bawah harga banderol yang tertera di kemasan rokok.
Hal ini diatur dalam Peraturan Dirjen Bea dan Cukai Nomor 37 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penetapan Tarif Cukai Hasil Tembakau. Kenyataannya, masih banyak rokok yang dijual jauh lebih murah dari batasan yang sudah diatur tersebut.
Coba bayangkan, seorang bos perusahaan rokok duduk manis di kantornya sambil memilih 40 kota mana yang bisa jadi target menjual rokok dengan harga semurah mungkin.
Berdasarkan hasil kajian Institute for Development of Economics and Finance (Indef), kebijakan diskon rokok ini telah menyebabkan negara kehilangan potensi pendapatan dari pajak penghasilan (PPh) badan sebesar Rp 1,73 triliun.
Celah ini tidak saja merugikan penerimaan negara, namun juga berdampak pada makin banyaknya rokok murah yang bisa dijangkau oleh masyarakat dan anak-anak.
Kedua, ada celah lain dalam sistem cukai rokok yang membedakan besaran tarif cukai berdasarkan jumlah produksi perusahaan.
Celah ini memberikan ruang bagi perusahaan besar untuk membayar cukai rokok mesin golongan 2 atau golongan tarif cukai murah, padahal memiliki omset triliunan rupiah dan penjualan miliaran batang rokok per tahun.
Golongan 2 ini sebenarnya diperuntukkan bagi perusahaan rokok kecil dan menengah karena tarifnya yang jauh lebih rendah dibandingkan golongan 1.