Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Refleksi dari Kasus Fanli, Siswa SMP yang Tewas Setelah Dihukum Lari...

Kompas.com - 03/10/2019, 16:11 WIB
Nur Rohmi Aida,
Inggried Dwi Wedhaswary

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com – Seorang siswa SMP di Manado meninggal dunia setelah dihukum lari keliling lapangan oleh gurunya.

Saat itu, siswa bernama Fanli Lahingide itu sudah mengaku lelah dan meminta istirahat, namun hukuman itu tetap harus dilakukannya.

CS, yang saat itu bertugas sebagai guru piket di SMP Kristen 46 Mapanget Barat, Kota Manado, Sulawesi Utara, menghukum Fanli karena pelajar berusia 14 tahun tersebut datang terlambat ke sekolah dan tidak ikut apel.

Pada putaran kedua, Fanli jatuh pingsan hingga akhirnya meninggal dunia ketika dibawa ke RS Auri yang kemudian merujuknya ke RS Prof Kandou.

Peristiwa ini menjadi keprihatinan bersama.

Baca juga: Siswa SMP Tewas setelah Dihukum Lari, Apa Kata KPAI?

Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Seto Mulyadi mengatakan, peristiwa ini mengingatkan seluruh pihak bahwa di lingkungan pendidikan, hukuman yang diberikan harus bersifat mendidik.

“Hukuman itu, sifatnya harus mendidik atau mengedukasi. Apalagi ini di lembaga pendidikan, maka sifatnya harus mendidik,” kata Seto, saat dihubungi Kompas.com, Kamis (3/10/2019).

Kak Seto juga menyayangkan sikap guru CS yang tak mengizinkan Fanli untuk beristirahat saat mengaku kelelahan.

“Hukuman sebagai bagian dari mendidik, bukan harus begini, harus begini. Tapi anak ditanya, kamu sehat enggak? Kamu capek enggak? Pendidikan harus penuh persahabatan. Apalagi dia sudah mengeluh capek tapi dibiarkan, itu sama sekali tidak dibenarkan,” papar Kak Seto.

Menurut dia, para guru harus menerapkan suasana pendidikan yang penuh persahabatan.

Seto juga mengingatkan dinas terkait mengenai hal ini.

Diskusi

Dalam kasus Fanli, kata Seto, siswa SMP seharusnya sudah bisa diajak untuk berdiskusi.

Seto menjelaskan, cara tepat untuk menentukan sebuah hukuman bagi para siswa adalah melibatkan mereka dalam suasana demokratis.

Dengan demikian, siswa terlibat dalam penentuan sanksi, dan paham akibat dari pelanggaran sistem yang mereka lakukan.

“Misalnya, guru melibatkan anak dengan bertanya ‘Anak-anak kalau tak masuk sekolah tanpa pemberitahuan apa sanksinya ya?’ Jadi suara-suara mereka dihargai. Begitu semua setuju, aturan ditetapkan, mereka belajar konsekuen,” kata Seto.

Ia menekankan, hukuman sudah selayaknya dijalankan dengan jelas dan konsisten, tak terpengaruh emosi.

Baca juga: Disdik Manado Sesalkan Kasus Siswa SMP Dihukum Lari hingga Tewas

“Misalnya karena emosi anak jadi disuruh berlari 5 kali, tapi suatu ketika dia tidak marah hanya dibilangin ‘Lain kali jangan begitu’“ jelas Seto.

Kak Seto juga menilai, hukuman lari bisa saja diberikan, tetapi sebaiknya dikomunikasikan terlebih dahulu.

Hal yang harus dipertimbangkan, di antaranya, kondisi siswa. Jika siswa capek, maka seharusnya hukuman tak diteruskan.

Meski demikian, ia menilai, banyak hukuman dalam bentuk lain yang bisa diterapkan terhadap siswa yang melanggar aturan.

Misalnya, membersihkan kelas, tetap dengan mempertimbangkan waktu dan sesuai kemampuan siswa.

Hukuman juga bisa diberikan dengan cara yang bersifat memancing kreativitas siswa, seperti membuat lukisan atau poster yang menganjurkan teman-temannya untuk tak melanggar aturan yang sama.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com