Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Peneliti BRIN Sebut Hujan Deras di Bandung sebagai Orkestra Hujan, Kok Bisa?

Hal itu disampaikan oleh Erma melalui akun Twitter pribadi miliknya, @EYulihastin, pada Kamis.

Dalam unggahan tersebut, Erma membagikan momen ketika dirinya mengalami tiga kali hujan deras di lokasi berbeda di wilayah Bandung.

Erma awalnya berangkat menuju sekitaran Cisitu-Dago, saat tiba-tiba turun hujan deras di daerah Tamansari sekitar pukul 14.00 WIB. Hujan tersebut terjadi selama 30 menit, atau selesai sekitar pukul 14.30 WIB.

Kemudian, hujan deras menerjang kembali sekitar pukul 15.00 WIB, ketika dirinya dalam perjalanan pulang di daerah Gunung Batu, dekat Kota Cimahi.

Hujan deras pun sempat mereda, yang kemudian terjadi kembali sekitar pukul 15.30 WIB. Saat itu, ia sedang melakukan perjalanan dari rumahnya menuju Padalarang.

Saat awal perjalanan, hujan yang melanda hanya gerimis. Namun berubah menjadi deras ketika ia memasuki Tol Pasteur menuju Tol Padalarang.

“Itu salah satunya, ada lagi kejadian di Serpong-Tangerang-Gunung Sindur (Banten) sekitar 6 Januari 2024 lalu,” ujar Erma kepada Kompas.com, Jumat.

Mengenal orkestra hujan

Erma menerangkan, hujan deras yang terjadi sebanyak tiga kali itu ia sebut sebagai “orkestra hujan”.

“Cuaca ekstrem atau hujan deras saat ini menyerupai sebuah orkestra,” kata dia.

Dalam artian, hujan deras tersebut seperti menunggu aba-aba dari dirigen, pemimpin musik simfoni.

“Hujan deras tidak serentak, tapi menunggu giliran waktu dan lokasi. Menunggu sang dirigen hujan memberi aba-aba,” terangnya.

Erma melanjutkan, orkestra hujan tersebut menggambarkan teori hujan ekstrem yang disebut sebagai Self-Organized Criticality (SOC) yang terjadi di beberapa titik.

Ia menjelaskan, dirigen pada orkestra hujan yang dimaksud adalah alam itu sendiri, hasil dari penggabungan sejumlah SOC yang ada.

“Nah proses penggabungan itu secara alamiah akan memunculkan leader atau dirigen bagi orkestra itu,” tuturnya.

Dalam sistem tersebut, terdapat uap air, temperatur atau suhu, tingkat kelembapan, dan lain sebagainya.

“Seluruh parameter yang punya potensi membentuk uap air yang kemudian menjadi hujan dalam bentuk awan melalui satu proses yang disebut dengan SOC,” terangnya.

Ia menambahkan, SOC mempunyai ambang batas untuk meregulasi dirinya sendiri. Ia pun mengumpamakannya seperti sebuah tumpukan pasir.

“Seperti sebuah pasir kalau diumpamakan, terus-menerus pasir itu kita tumpuk maka pada suatu ambang batas tertentu akan kolaps,” ucapnya.

“Artinya, ada satu titik kritis tertentu ketika sistem sudah tidak mampu menampung, maka akan kolaps. Sama seperti itu proses hujan di alam ini,” lanjutnya.

Lebih lanjut, ia menerangkan bahwa terdapat multiplikasi energi dikarenakan ada proses pembentukan badai di dalam SOC tersebut, yang disebut sebagai squall line.

Sehingga squall line ini yang tadinya berupa barisan hujan, akan menimbulkan angin kencang, dan hujan yang bisa sangat ekstrem di suatu tempat tertentu.

Bahkan, hujan jenis ini juga bisa disertai petir dan angin puting beliung.

“Ada microburst dan downburst, artinya hujannya luar biasa derasnya, fokus di satu titik atau satu area yang terbatas,” jelasnya.

https://www.kompas.com/tren/read/2024/01/12/173000165/peneliti-brin-sebut-hujan-deras-di-bandung-sebagai-orkestra-hujan-kok-bisa-

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke