KOMPAS.com - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal gugatan usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) menuai sorotan publik.
Pasalnya, MK semula menolak tiga gugatan terkait batas usia capres-cawapres yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017.
Gugatan pertama tercatat dengan perkara nomor 29/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh sejumlah kader Partai Solidaritas Indonesia (PSI) pada 16 Maret 2023.
Dalam gugatannya, PSI meminta batas usia minimal capres-cawapres dikembalikan ke 35 tahun, seperti dalam UU Nomor 23 Tahun 2003.
Gugatan kedua yang ditolak oleh MK adalah perkara nomor nomor 51/PUU-XXI/2023 yang diajukan Partai Garuda pada 9 Mei 2023.
Partai Garuda meminta agar pengalaman sebagai penyelenggara negara dapat menjadi alternatif selain usia minimal 40 tahun.
MK juga menolak gugatan perkara nomor 55/PUU-XXI/2023 yang diajukan sejumlah kepala daerah, dengan petitum sama seperti Partai Garuda.
Menurut MK, aturan batas usia capres-cawapres merupakan kewenangan pembentuk undang-undang, yakni pemerintah dan DPR.
Ketiga gugatan itu dibacakan pada Senin (16/10/2023) pagi hingga siang.
Inkonstitusional bersyarat
Namun, pada sore harinya, MK justru mengabulkan gugatan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait usia capres-cawapres.
Gugatan ini dilayangkan oleh mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Surakarta (Unsa) bernama Almas Tsaqibbirru.
Meski putusan tetap menyantumkan syarat capres-cawapres minimal 40 tahun, tetapi syarat itu bisa dikesampingkan jika seseorang pernah menjabat sebagai kepala daerah atau pejabat negara lain yang dipilih melalui pemilu.
MK menilai, syarat usia minimal capres-cawapres 40 tahun berpotensi membatasi peran para pemuda untuk menjadi pemimpin.
Oleh karena itu, perlu alternatif lain untuk mewujudkan rasa keadilan.
"Pembatasan usia yang hanya diletakkan pada usia tertentu tanpa dibuka syarat alternatif yang setara merupakan wujud ketidakadilan yang inteloreable dalam kontestasi pemilihan presiden dan wakil presiden," ujar Hakim MK Guntur Hamzah.
Banyak aspek bermasalah
Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Feri Amsari mengatakan, keputusan MK ini memuat banyak aspek yang bermasalah.
Pasalnya, keputusan ini ditetapkan menjelang pendaftaran pemilu atau ketika tahapan pemilu sedang berlangsung.
"Sehingga, komitmen yang dibuat dalam UU menjadi berantakan, untuk membuat proses penyelenggaraan pemilu itu pasti," kata Feri kepada Kompas.com, Senin (16/10/2023).
Padahal, asas pemilu pada prinsipnya adalah prosesnya pasti, tetapi hasilnya tidak pasti.
Jika proses penyelenggaraan pemilu sudah tidak pasti karena putusan ini, maka harapan pemilu akan berjalan dengan baik pun menjadi tanda tanya.
Feri mengatakan, putusan MK soal syarat usia capres-cawapres ini justru memenuhi aspek "drama" yang sangat menonjol dan mempermainkan perasaan publik.
"Mungkin layak dapat Piala Oscar ya. Dengan memainkan perasaan publik dari pagi, seluruh putusan yang awalnya dianggap menegakkan nilai-nilai konstitusional, juga berbagai argumentasinya," ujarnya.
"Tiba-tiba putusan di sore hari berbalik 180 derajat dan mengubah semua yang diargumentasikan pada pagi hari," pungkasnya.
https://www.kompas.com/tren/read/2023/10/17/070000565/drama-putusan-mk-soal-gugatan-usia-capres-cawapres-dinilai-bermasalah-dan