Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Nasionalisme Indonesia pada Era Metaverse

Kebangkitan nasional atau nasionalisme memiliki makna luas. Nasionalisme dapat memanifestasikan dirinya sebagai 1) proses empiris pembentukan negara; 2) ideologi hak politik negara; 3) gerakan untuk tujuan nasionalis; 4) rasa memiliki terhadap suatu komunitas nasional; 5) dan bahasa dan aktivitas simbolik bangsa-bangsa (Bdk.Smith, 1991, hlm. 72).

Pada peringatatan Hari Kebangkitan Nasional yang tidak lagi muda, kita perlu kembali merenung untuk menemukan kedalaman makna dan relevansinya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara kita.

Ajakan tersebut terasa kian urgen karena kita sedang memasuki suatu era baru peradaban manusia yang disebut, "era metaverse". Istilah metaverse berasal dari novel fiksi ilmiah tahun 1992 Snow Crash sebagai lakuran atau portmanteau dari kata "meta" dan "universe."

Mark Zuckerberg, CEO Facebook, melihat metaverse sebagai realitas alternatif universal, "Cawan Suci (Holy Grail) interaksi sosial", yang diyakini akan menjadi kenyataan pada tahun 2025 [Bdk.Antin, Doug (2020)].

Mark Stahlman menyatakan bahwa metaverse mengacu pada pertemuan atau konvergensi antara realitas fisik, realitas virtual, dan augmented reality yang diwarnai dengan kecerdasan buatan. Stahlman juga menegaskan bahwa kini kita bukan lagi “warga dunia” yang bersaing secara fisik: ekonomi dan militer.

Namun kita sedang berada dalam "lingkungan" yang sama sekali baru dalam sejarah umat manusia, karena berbagai bangsa tidak hanya saling berhadapan dan bersaing, tetapi telah merambah satu sama lain secara digital dalam berbagai bidang kehidupan (Bdk.www.digitallife.center).

Metaverse dan nasionalisme

Lalu, bagaimana lingkungan baru metaverse memengaruhi konsep dan praktik nasionalisme umat manusia?

Rupanya, tak semua bangsa siap untuk menyambut metaverse. Bahkan, ada bangsa yang berusaha untuk mengendalikan lingkungan baru itu agar tidak mengganggu identitas bangsanya.

Tiongkok misalnya sedang mencoba melakukan hal ini dengan serangkaian langkah kontrol dan sensor untuk mengendalikan metaverse yang baru mulai. Namun, rezim Tiongkok, dengan segala pengaruhnya, tidak dapat memastikan bahwa bangsanya akan lepas dari pengaruh metaverse. Bahkan, yang terjadi justru sebaliknya.

Warga Tiongkok menjelajah ke lingkungan metaverse dengan kecepatan yang menyamai Silicon Valley. Sudah ada 16.000 aplikasi merek dagang terkait metaverse yang diajukan dan raksasa teknologi telah berinvestasi ke dalam perangkat lunak, perangkat keras, dan infrastruktur utama yang diperlukan agar metaverse ada.

Aktivitas metaverse dengan karakteristik China sedang dibangun dan meraih pangsa pasar senilai 8 triliun dollar AS (Bdk. https://thediplomat.com/2022)

Karena itu para ilmuwan sosial sepakat bahwa lingkungan metaverse, disadari atau tidak, mulai dan akan semakin mengubah konsep dan praktik nasionalisme berbagai bangsa di dunia.

Berkenaan itu, Stahlman memperingatkan, tanpa pengetahuan yang mendalam tentang dampak metaverse atau teknologi digital pada peradaban, bangsa-bangsa di dunia tidak akan mampu menavigasi masa depannya. Sebaliknya, bangsa yang mampu memberdayakan teknologi digital akan menjadi yang ‘terdepan’. (Bdk.www.digitallife.center).

Para ilmuwan menyebutkan bahwa pada tahun 2015, ketika Tottenham Hotspur dari Liga Utama Inggris mengakuisisi penyerang Son Heung-min - bisa dibilang pemain sepak bola terbaik yang pernah diproduksi Korea - sebuah tren aneh muncul di kalangan penggemar sepak bola Korea. (The Korean Herald, 04 Jan 2022).

Setiap kali Son menampilkan penampilan yang luar biasa, mereka akan membanjiri kolom komentar online dengan kata “Jumo!” Itu dimaksudkan sebagai pujian. Jumo adalah kata Korea mengacu pada profesi pelayan bar wanita yang sekarang sudah tidak ada lagi.

Dengan mengatakan Jumo, para penggemar mengatakan bahwa mereka menginginkan lebih banyak minuman, karena mereka “mabuk” dengan kebanggaan atas penampilan Son.

Itu adalah mode baru nasionalisme yang telah dimanifestasikan secara online dala era metaverse.

Saluran YouTube Korea, Gukppong menguggah video yang dirancang untuk menghasut nasionalisme. Istilah Gukppong merupakan kombinasi dari "guk," yang berarti bangsa, dan "ppong," istilah untuk metamfetamin yang diyakini berasal dari philopon, nama merek yang banyak diganti di negara-negara Asia Timur. Menggabungkan dua kata itu mengibaratkan mengumbar ‘nasionalisme’ dengan kecanduan narkoba.(Bdk.www.koreaexpose.com).

Pada tahun-tahun sebelumnya, istilah ini sebagian besar digunakan sebagai lelucon untuk mengolok-olok pelaku media yang terlalu fokus pada kesuksesan produk atau orang Korea di luar negeri. Misalnya, ketika Park Ji-sung dari Korea bermain untuk EPL Manchester United dari 2005 hingga 2012, beberapa reporter Korea akan bertanya kepada siapa pun dari Eropa atau AS pendapat mereka tentang Park terlepas dari konteksnya, berharap untuk mendengar kata pujian. Ketika orang tersebut mengatakan bahwa dia adalah seorang penggemar, itu akan menjadi headline.

Yang pasti, orang Korea pada umumnya memperhatikan apa yang dipikirkan negara lain tentang negara atau rekan senegaranya.

Mengapa demikian? Jawabannya seperti dikemukakan Ha Jae-geun, kritikus budaya pop dalam kolomnya tentang Gukppong yang menulis:“Kami memulai industrialisasi terlambat dan selalu menjadi pengikut orang Barat, yang telah menyebabkan kompleks (inferioritas) yang mengakar. Ini membuat orang Korea menjadi sensitif terhadap apa yang mereka pikirkan, dan merindukan persetujuan atau pujian orang Barat (dunia).”

Topik video Gukppong di YouTube bervariasi dari budaya, politik, dan bahkan militer, tetapi mereka cenderung memiliki kesamaan yang jelas. Judul video Gukppong menekankan bagaimana Korea harus berada pada posisi ‘terdepan’ dibandingkan saingan negara mereka.

Perlu dicatat, spirit dari komentar yang muncul di saluran ini adalah ‘bangga akan nasionalisme baru Korea’.

Nasionalisme Indonesia

Bagaimana dengan kebangkitan nasionlisme Indonesia? Secara historis kebangkitan nasionalisme Indonesia dinyatakan muncul ketika Sutomo dan rekan-rekannya mendirikan Budi Oetomo pada 20 Mei 1908. Namun, nasionalisme baru Indonesia adalah produk dari demokratisasi kehidupan politik Indonesia yang terjadi sejak tahun 1998.

Sepintas pesan nasionalis baru berbeda dari gerakan ‘nasionalisme’ sebelumnya. Nasionalisme baru tidak lagi berfungsi untuk mengatasi polarisasi ideologis kiri-kanan seperti yang terjadi pada tahun 1960-an.

Politik Indonesia pasca-Reformasi justru ditandai dengan tidak adanya perpecahan ideologis (Bdk.Mietzner, 2008). Pada masa ini, semua partai besar mengandalkan strategi klientelis yang serupa untuk memobilisasi dukungan elektoral (Bdk.Aspinall, 2014).

Dalam konteks tersebut, nasionalisme cendeung dimaknai secara dangkal dan menjadi alat yang berguna bagi politisi yang ingin membangun dukungan rakyat atau untuk melanggengkan status quo.

Bagaimana nasionalisme Indonesia di era metaverse ini?

Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu mendalami dinamika ekonomi, sosial, dan budaya yang lebih luas dalam realitas hiper era internet dan teknologi digital. Kebangkitan nasionalis kita era ini sangat dipengaruhi oleh arus informasi internet. Sebagai contoh, nasionalisme kita tiba-tiba berkobar ketika muncul iklan di media Malaysia yang menggunakan dan mengklaim artefak budaya Indonesia sebagai miliknya.

Ulah Malaysia itu langsung ditanggapi dengan meme, ejekan yang ‘dilontarkan’ oleh jutaan netizen Indonesia. Suatu ledakan perasaan nasionalis tiba-tiba yang kemudian padam dengan cepat.

Suasana kebangkitan nasionalistis seperti itu mencerminkan suasana hati yang gamang di kalangan warga bangsa Indonesia, baik elite maupun publik tentang identitas, prestasi, dan posisinya di mata dunia. Artinya, Indonesia telah mengalami perubahan yang menjanjikan, tetapi masih memendam banyak masalah sosial-budaya, ekonomi, dan politik yang sistemik.

Memang, ada banyak dari seruan untuk menegakkan kekuatan dan martabat nasional. Namun pada saat yang sama hal itu menunjukkan bahwa Indonesia sebenarnya sangat kekurangan dalam kedua kualitas tersebut.

Sebagai misal, berkenaan dengan kebangkitan nasionalisme di bidang ekonomi, kita punya Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesial untuk mendukung produksi dalam negeri. Gerakan ini digagas langsung oleh Presiden Joko Widodo dan diluncurkan pada tanggal 14 Mei 2020.

Namun, gerakan tersebut tak ditanggapi secara antusias dan masif. Bahkan, banyak dari kalangan menengah atas kita masih merasa lebih bergengsi membeli dan mengoleksi produk bermerek asing. Pemerintah gencar mengkampanyekan teloreransi dan moderasi beragama. Tetapi, pada saat yang sama para netizen memenuhi ruang digital (medsos) dengan ujaran kebencian dan intoleransi.

Pemerintah juga giat membangun infrastruktur guna mendukung aktivitas ekonomi, terutama UMKM, petani dan nelayan di seluruh wilayah Indonesia. Namun, upaya seperti itu seperti tidak disokong oleh sejumlah besar oknum pejabat eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang melakukan tindakan korupsi. Dalam konteks demikian, kebangkitan nasionalisme Indonesia dalam era metaverse harus dimaknai secara baru.

Kini saatnya, seluruh warga bangsa Indonesia, terutama kaum milenial yang akrab teknologi digital, bangkit untuk mengentaskan kemiskinan, ketimpangan sosial, melawan korupsi, dan meredam segala bentuk sikap intoleransi.

Bangsa Indonesia juga harus mulai mendayagunakan teknologi digital untuk membongkar dan melawan segala bentuk eksploitasi sumber daya alam Indonesia oleh pihak asing dan elite ekonomi yang rakus.

Kita juga harus bangkit untuk mengekspresikan kemampuan kita mendayagunakan kemajuan teknologi digital untuk memperkuat sektor pertanian dan perikanan, memperbanyak UMKM dan produk ekonomi kreatif, serta meningkatkan mutu pelayanan wisata agar bangsa ini segera mandiri dan berdaulat secara ekonomi.

Kebangkitan nasional dalam era metaverse harus diwujudkan dengan aksi-aksi nyata. Dengan begitu kita menjadi bangsa yang memiliki jati diri yang kuat, dan siap memetik manfaat dari kemajuan yang terjadi di era metaverse.

https://www.kompas.com/tren/read/2022/05/19/163604165/nasionalisme-indonesia-pada-era-metaverse

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke