Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Media Asing Soroti Penanganan Corona di Indonesia, Epidemiolog: Harus Jadi Evaluasi

KOMPAS.com - Setelah lebih dari 1,5 tahun pandemi Covid-19, sejumlah negara yang berhasil mengendalikan virus, mulai beradaptasi menuju new normal. 

Hal itu seiring dengan melandainya kasus penularan dan semakin tingginya persentase populasi yang menjalani vaksinasi. 

Beberapa negara dinilai menjadi tempat terbaik dan warganya bisa kembali beraktivitas seperti sebelum adanya pandemi. 

Media asing Bloomberg memberikan peringkat teratas kepada Norwegia, Swiss, dan Selandia Baru sebagai negara terbaik dalam mengatasi pandemi. 

Beberapa indikator yang digunakan dalam Peringkat Ketahanan Covid di antaranya cakupan vaksinasi, dampak dari penguncian, jumlah korban meninggal, dan kesiapan membuka kembali aktivitas 

Di sisi lain, Indonesia berada di tempat terbawah sebagai negara dengan ketahan Covid-19 paling buruk periode Juli 2021.

Indonesia dinilai paling buruk daam menangani pandemi, serta paling tidak siap apabila akan membuka kembali perbatasannya. 

Peringkat yang dirilis Bloomberg pada Rabu (28/7/2021) itu, melibatkan 53 negara ekonomi utama dunia.

Bloomberg menyoroti tingginya angka kematian harian dan pasokan vaksin yang tak mampu memenuhi kebutuhan populasi.

Kondisi yang sama juga dihadapi oleh negara peringkat paling bawah lainnya, seperti Malaysia, Filipina, dan Bangladesh.


Bahan evaluasi

Menanggapi penilaian tersebut, epidemiolog Griffith University Dicky Budiman mengatakan, rangking dan perbandingan tersebut tidak bisa dihindari.

Menurut Dicky, penilaian itu harus dianggap sebagai bahan evaluasi bahwa pendekatan berbasis public health dalam menangani pandemi Covid-19 tidak bisa diabaikan.

"3T itu amat sangat memiliki daya ungkit sektor lain. Jika tidak direspons dengan strategi pandemi yang tepat, ya akan berdampak," kata Dicky kepada Kompas.com, Kamis (29/7/2021).

Menurut dia, penilaian tersebut tidak bisa ditentang karena berbasis fakta dan sains.

Ia menuturkan, tingginya angka kematian akibat virus corona menjadi bukti kurangnya respons secara komprehensif dalam melakukan pencegahan dan program secara umum.

Meski tidak menerapkan penguncian ketat, Dicky menyebut Indonesia masih bisa mengendalikan pandemi dengan peningkatan 3T dan pendekatan berbasis sains lainnya.

"Intervensi yang dilakukan pemerintah akan berdampak secara ekonomi sosial, walaupun tujuannya kesehatan. Peningkatan 3T, isolasi karantinanya, visitasi, 5M dan vaksinasi harus dilakukan secara berkesinambungan," ujar Dicky. 


Perkuat tracing untuk menurunkan kematian

Selain itu, Dicky juga berharap agar paradigma penanganan pandemi diubah.

Menurutnya, menemukan kasus infeksi bukanlah sebuah aib, tetapi dalam rangka dalam rangka untuk melakukan rencana yang lain, seperti tracing, isolasi, karantina, dan mencegah kematian.

"Kita di data ini tercatat dalam satu bulan terakhir angka kasusnya 395 per 100.000. Dibanding Belanda yang rangking 14 itu jauh lebih kecil dengan 965 per 100.000," ujarnya.

"Spanyol itu tinggi juga, tapi mereka angka kematiannya jauh lebih kecil, karena kasusnya begitu cepat ditemukan, diberi intervensi, perawatan dukungan isolasi karantina. Itu akan mencegah kematian," tambahnya.

Karena itu menurut Dicky, sulit untuk mengendalikan pandemi virus corona tanpa menemukan kasus-kasus infeksinya.

https://www.kompas.com/tren/read/2021/07/30/153000765/media-asing-soroti-penanganan-corona-di-indonesia-epidemiolog--harus-jadi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke