Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Studi Ini Menunjukkan Fakta Pencemaran Udara di India akibat Plastik

Sifatnya yang sulit menterurai, berpotensi mencemari tanah dan laut. Apalagi, jika sampah plastik tidak didaur ulang atau diolah menjadi barang yang lebih berguna.

Dilansir dari The Guardian, Jumat (26/2/2021), data terbaru menunjukkan bahwa plastik juga menambah polusi udara di kota-kota, terutama di India.

Dugaan awal

Selama beberapa tahun, para peneliti mencari tahu mengapa Delhi lebih rentan terhadap kabut asap tebal dibandingkan kota-kota dengan udara tercemar lainnya seperti Beijing.

Data dari penelitian tersebut mengaitkan partikel klorida kecil di udara yang membantu pembentukan tetesan air.

Secara umum, partikel klorida biasanya ditemukan di dekat pantai, karena semprotan laut.

Akan tetapi, udara di Delhi dan di pedalaman India mengandung lebih banyak partikel klorida dari yang diperkirakan.

Awalnya, peneliti menduga pencemaran udara ini akibat pabrik ilegal di sekitar Delhi, yang mendaur ulang alat elektronik dan yang menggunakan asam klorida kuat untuk membersihkan dan memproses logam.

Pabrik ilegal itu tak dapat dipungkiri menjadi bagian dari masalah polusi udara, tetapi data terbaru telah mengungkapkan fakta lain.

Baru-baru ini, Nature.com merilis data partikel aerosol yang terkandung dalam emisi klorin di India.

Singkatnya, analisis ini memeriksa proses kimiawi dan fisik yang kompleks serta mekanisme yang mendasari berkurangnya visibilitas udara di Delhi, yang memiliki konsekuensi negatif besar pada ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.

Data polusi

Peneliti melihat polutan lain yang meningkat pada saat yang sama dengan partikel klorida.

Jejak kimiawi ini cocok dengan sampel pembakaran plastik atau pembakaran sampah rumah tangga yang mengandung plastik.

Jumlah klorida yang besar ini diperkirakan menjadi penyebab sekitar setengah dari kejadian kabut asap Delhi.

Berdasarkan data IQAir.com, indeks kualitas udara di Delhi pada Minggu (28/2/2021) pukul 17.30 sebesar 115. Artinya, udara di Delhi tidak sehat untuk kelompok rentan.

Sementara, pada Kamis (25/2/2021), indeks kualitas udaranya mencapai 186 yang berarti tidak sehat.

Pembakaran sampah plastik

Masih dari The Guardian, di negara-negara berpenghasilan rendah, sekitar 90 persen sampah berakhir di tempat pembuangan terbuka atau dibakar di udara terbuka.

Jika membakar plastik, produk berbasis minyak tersebut akan menghasilkan asap hitam dalam jumlah yang banyak.

Dengan menggunakan data kandungan sampah dari seluruh dunia, peneliti dari London's King's and Imperial Colleges memperkirakan, jelaga dari pembakaran sampah plastik terbuka, memiliki dampak pemanasan global yang setara dengan 2 persen sampai 10 persen emisi global karbondioksida.

Plastik yang dibakar juga menghasilkan dioksin dalam jumlah besar dan polutan beracun lainnya yang dapat bertahan dalam rantai makanan.

Insinerator limbah modern di Inggris dan Eropa berusaha keras untuk mengurangi emisi beracun ini, tetapi tidak ada jaminan atau perlindungan untuk limbah plastik yang dibakar di rumah atau di tempat terbuka.

Insinerator merupakan alat pengelolaan limbah yang menyerupai tungku perapian.

Masalah pembakaran sampah di kota-kota India tidak berakhir di situ. Peneliti dari Universitas Manchester, James Allan, mencoba mengambil bagian dalam penelitian terbaru di India.

Ia meneliti klorida tambahan yang dapat mendorong reaksi kimia antara polutan udara yang berbeda.

Penelitian ini termasuk menelaah penambahan lapisan ozon di permukaan bumi di seluruh India. Ia juga menghitung, dampak polusi yang telah menurunkan hasil bumi di India sebesar 20 persen hingga 30 persen.

Pengelolaan limbah yang baik perlu menjadi prioritas, tetapi menghilangkan polusi plastik juga memerlukan pemikiran ulang tentang produksi dan penggunaan plastik global.

https://www.kompas.com/tren/read/2021/03/01/072900665/studi-ini-menunjukkan-fakta-pencemaran-udara-di-india-akibat-plastik

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke