Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Nurdin Abdullah, OTT Pertama Kepala Daerah pada 2021

KOMPAS.com - Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah termasuk salah satu yang terjaring dalam operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Sulawesi Selatan (Sulsel) pada Jumat (26/2/2021) malam.

Pada Sabtu (27/2/2021) pagi, Nurdin Abdullah sudah sampai di Jakarta untuk menjalani pemeriksaan.

"Benar, hari Jumat 26 Februari 2021 tengah malam, KPK melakukan giat tangkap tangan terhadap kepala daerah di Sulawesi Selatan terkait dugaan tindak pidana korupsi," kata Pelaksana Tugas (Plt) Juru Bicara KPK Ali Fikri, saat dikonfirmasi Kompas.com, Sabtu (27/2/2021).

KPK telah menetapkan Nurdin sebagai tersangka dugaan suap pengadaan proyek infrastruktur.

Nurdin Abdullah menjadi kepala daerah pertama yang terjaring OTT KPK pada tahun 2021 ini. 

Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM Zaenur Rohman mengatakan, tertangkapnya kepala daerah bukan hal baru di Indonesia.

"Setiap kali ada OTT seorang kepala daerah oleh KPK sebenarnya menurut saya bukan sesuatu yang mengejutkan karena sistem politik kita belum berubah," ujar Zaenur kepada Kompas.com, Sabtu (27/2/2021).

Mengapa kasus dugaan korupsi kerap menjerat kepala daerah?

Zaenur menyebutkan, pemilihan kepala daerah berbiaya sangat tinggi sedangkan penghasilan kepala daerah tidak sebanding dengan yang telah dikeluarkan.

Hal itu membuat kepala daerah terpilih harus membalas budi atau membayar dengan memanfaatkan jabatan dan kewenangan yang dimilikinya.

Menurut Zaenur, dari banyak kasus korupsi kepala daerah, biasanya ada sejumlah dugaan pelanggaran yang dilakukan.

Tiga modus dugaan korupsi yang sering terjadi dan menjerat kepala daerah, dalam catatan Pukat, sebagai berikut:

1. Menjual perizinan

Zaenur mengatakan, kepala daerah biasanya memanfaatkan permintaan perizinan yang diajukan untuk mendapatkan sejumlah uang.

"Kepala daerah melihat kewenangan izin mereka bisa dikonversi menjadi sejumlah uang. Siapa saja yang memohon perizinan itu diminta untuk menyerahkan timbal balik sejumlah uang," kata dia.

2. Pengisian jabatan di daerah

Dalam pengisian jabatan di daerah, juga menjadi celah korupsi. 

"Barang siapa yang ingin menjadi pejabat daerah, posisi-posisi seperti kepala dinas, dan lain-lain diharuskan menyetor sejumlah uang kepada kepala daerah," kata Zaenur.

3. Pengadaan barang dan jasa

Zaenur mengatakan, dalam beberapa kasus, kepala daerah meminta sejumlah uang dari para kontraktor penyedia barang dan jasa jika mereka ingin mendapatkan proyek atau pekerjaan-pekerjaan dari pemerintah daerah.

"Ini yang paling banyak," ujar dia.

Timbal balik itu ada yang dilakukan secara langsung ada juga yang tidak langsung.

Adapun yang dilakukan secara tidak langsung seperti pada pembiayaan pencalonan kepala daerah oleh para pemilik modal. Jika kepala daerah terpilih, para pemodal akan mendapatkan proyek dari pemerintah.

Sementara, yang dilakukan secara langsung yaitu dengan memberi sejumlah uang atau barang kepada para kepala daerah.

"Yang secara langsung inilah yang kemudian sering di-OTT oleh KPK," ujar Zaenur.

Celah korupsi

Zaenur menilai, kontrol terhadap kepala daerah selama ini lemah. Pengawasan yang dilakukan oleh parlemen daerah, DPRD, dianggapnya tidak efektif. Dalam beberapa kasus korupsi kepala daerah, bahkan juga menyeret anggota DPRD. 

"Sekalinya dilakukan pengawasan, pengawasan dilakukan secara represif oleh penegak hukum dalam hal ini adalah KPK," kata dia.

Menurut Zaenur, hal ini menunjukkan bahwa fungsi saling mengimbangi eksekutif dan legislatif di daerah tidak berjalan. 

Menurut Zaenur, yang paling penting diubah adalah sistem politik Indonesia.

"Jika sistem politik terus menerus berbiaya tinggi, maka keinginan untuk korupsi hilang adalah sesuatu yang susah untuk terjadi," ujar dia.

Ia menekankan, pentingnya pengawasan. Selama ini pengawasan yang berjalan dilakukan oleh KPK sebagai pengawasan yang represif.

Zaenur mengatakan, seharusnya ada pengawasan preventif yang seharusnya dilakukan oleh inspektorat di daerah atau pengawas internal pemerintah yaitu BPKP.

Akan tetapi, pengawasan inspektorat dinilai kurang efektif karena kedudukan inspektorat di bawah kepala daerah.

Oleh karena itu, perlu pengawasan dari jenjang yang lebih tinggi, yakni pemerintah pusat.

Lembaga legislatif, lanjut Zaenur, juga harus menjalankan tugasnya, karena salah satu fungsinya adalah melakukan kontrol terhadap pemerintah daerah.

Hal penting lainnya adalah, perlu adanya tindak lanjut dari KPK setelah penangkapan kepala daerah.

"Jadi tidak sekadar ditindak saja, tapi setelah itu dibangun dengan sistem yang baru agar terbebas dari korupsi. Jadi follow up dari upaya penindakan itu adalah upaya pencegahan," kata Zaenur.

Hal yang bisa dilakukan antara lain dari sisi pengadaan barang dan jasa, harus dibuat Unit Layanan Pengadaan (ULP) yang mandiri (sekarang namanya UKPBJ), membangun integritas PNS yang anti-gratifikasi, manajemen anti suap, dan lain-lain.

"Termasuk upaya pengelolaan keuangan daerah dan barang milik daerah," kata Zaenur.

https://www.kompas.com/tren/read/2021/02/28/073000265/nurdin-abdullah-ott-pertama-kepala-daerah-pada-2021

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke