Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Terancam Tutup, Berikut Kilas Sejarah Saung Angklung Udjo

KOMPAS.com - Pandemi virus corona yang melanda Indonesia sejak tahun lalu memberi dampak besar bagi perekonomian masyarakat.

Pembatasan yang memaksa semua orang harus tinggal di rumah membuat sejumlah tempat usaha dan wisata sepi dari pengunjung.

Salah satunya adalah Saung Angklung Udjo, tempat wisata di Kota Bandung, Jawa Barat yang kerap dikunjungi wisatawan mancanegara.

Karena sepinya pengunjung, Saung Angklung Udjo telah melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap lebih dari 90 persen karyawannya.

"Pengurangan pegawai bukan akan, tapi sudah sebagian bulan-bulan kemarin. Dari 600, sekarang cuma 40," kata Direktur Utama Saung Angklung Udjo Taufik Hidayat, Jumat (22/1/2021).

Berikut sejarah Saung Angklung Udjo...

Membicarakan saung tersebut, tak bisa dipisahkan dari sosok Udjo Ngalagena atau akrab disapa Mang Udjo.

Sejak usia enam tahun, Mang Udjo sudah memainkan angklung bersama teman-teman sebaya di bawah pimpinan Abah Almawi, dikutip dari Harian Kompas, 4 Mei 2001.

Kecintaannya kepada angklung semakin meluap setelah berkenalan dengan Daeng Sutigna pada 1955. Daeng Sutigna merupakan tokoh angklung legendaris yang menciptakan angklung diatonis.

Pada 1958, Udjo sudah memainkan angklung secara berkeliling dan mengenalkan alat musik bambu yang namanya diambil dari suaranya itu kepada masyarakat.

Tak lama kemudian, Mang Udjo bersama istrinya Ny Uum Sumiati mendirikan Saung Angklung Udjo (SAU) pada 1966.

Di masa-masa awal berdirinya SAU, bentuk kemasan pertunjukkan benar-benar membebaskan anak-anak untuk bermain-main.

Mereka bersembunyi di balik rumpun padi, karena saat itu di sekitar lokasi saung masih banyak sawah.

Begitu Mang Udjo memberi tanda, sontak puluhan anak keluar dari gerombolan padi.

Para penonton tentu saja kaget, tidak mengira kalau angklung akan disuguhkan oleh anak-anak usia balita sampai remaja.

Seiring berjalannya waktu, wisatawan yang berkunjung justru didominasi wisawatan asing pada 1990-an.

Pasalnya, promosi saat itu gencar dilakukan ke dunia internasional.

Namun, krisis moneter kemudian menciptakan komposisi penonton.

SAU lantas mendekati penonton lokal, seperti dikutip dari Harian Kompas, 4 Mei 2002.

Mereka mengundang, bahkan mendatangi, guru dan murid sekolah agar menonton pertunjukan angklung.

Maka tak heran jika kini wisatawan domestik mendominasi.

Sepeninggal Mang Udjo pada 2001, usaha melestarikan kesenian angklung diteruskan oleh anak-anaknya hingga saat ini.

https://www.kompas.com/tren/read/2021/01/23/160500065/terancam-tutup-berikut-kilas-sejarah-saung-angklung-udjo

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke