Surat pandangan PDPI mengenai vaksin Covid-19 tersebut tersebar di media sosial Twitter.
Dikonfirmasi Kompas.com, Ketua PDPI dr Agus Dwi Susanto, SpP membenarkan bahwa pihaknya mengeluarkan surat bernomor 291/PP-PDPI/X/2020 pada 21 Oktober 2020.
"Ini surat PDPI ke IDI. Betul," kata Agus saat dihubungi Kompas.com, Kamis (22/10/2020).
Surat itu juga diunggah akun Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Meski demikian, vaksin yang masuk dan akan digunakan di Indonesia harus melewati uji klinis sebelum disuntikkan kepada penerima vaksin.
Setiap jenis vaksin juga harus mendapatkan persetujuan Badan Pegawas Obat dan Makanan (BPOM).
"PDPI menilai bahwa Kementerian Kesehatan perlu menyampaikan syarat-syarat terkait indikasi penerima vaksin yang resmi dari pemerintah," ujar Agus.
Selain itu, PDPI meminta agar IDI membuat pedoman yang dapat dijadikan pegangan anggotanya dalam melakukan vaksinasi Covid-19.
Lima pandangan
PDPI memberikan lima pandangannya mengenai vaksinasi Covid-19 yang sedang dalam proses uji klinis.
Berikut pandangan yang disampaikan oleh PDPI:
Surat IDI
Sementara itu, Pengurus Besar (PB) IDI menyampaikan sikap dan rekomendasi perihal vaksinasi Covid-19 di Indonesia.
PB IDI mengapresiasi dan mendukung upaya-upaya pemerintah dalam menghadapi pandemi virus corona.
Ketua Satgas Covid PB IDI Prof Dr dr Zubairi Djoerban SpPD (K) mengatakan, perlu diadakan persiapan yang baik dalam hak pemilihan jenis vaksin yang akan disediakan serta persiapan terkait pelaksanaannya.
"Hal ini sesuai dengan instruksi Presiden agar program vaksinasi ini jangan dilakukan dan dimulai dengan tergesa-gesa," kata Zubairi kepada Kompas.com, Kamis (22/10/2020).
Menurut PB IDI, dalam hal pemilihan jenis vaksin yang akan disediakan, ada syarat mutlak yang harus dipenuhi yaitu vaksin yang akan digunakan sudah terbukti efektivitasnya, imunogenitasnya serta keamanannya dengan dibuktikan adanya hasil yang baik melalui uji klinik fase 3 yang sudah dipublikasikan.
Dari data yang ada, saat ini uji coba vaksinasi Sinovac di Brazil sudah selesai dilaksanakan kepada 9.000 relawan.
Namun, hasilnya baru akan dikeluarkan segera setelah selesai dilakukan vaksinasi terhadap 15.000 relawan.
"Kita bisa melihat bahwa unsur kehati-hatian juga dilakukan negara lain dengan tetap menunggu data lebih banyak lagi dari hasil uji klinis fase," ujar Zubairi.
Hal ini, lanjut dia, sekaligus menunjukkan bahwa program vaksinasi adalah sesuatu program penting namun tidak dapat dilakukan dengan tergesa-gesa.
Zubairi menilai, dalam situasi pandemi, WHO memperkenankan pembuatan dan penyediaan obat atau vaksin dapat dilakukan melalui proses Emergency use Authorization (EUA) untuk vaksin Covid-19 oleh lembaga yang mempunyai otorisasi untuk itu.
"Di Indonesia, lembaga tersebut adalah BPOM," kata dia.
Ia mengatakan, PB IDI sangat yakin bahwa BPOM tentu memperhatikan keamanan, efektivitas dan imunogenitas suatu vaksin, termasuk bila terpaksa menggunakan skema EUA.
"Kami yakin bahwa BPOM akan menjaga kemandirian dan profesionalismenya," kata Zubairi.
Selain itu, perlu mempertimbangkan rekomendasi dari Indonesia Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI) dan Strategic Advisory Group of Experts on Immunization of the World Health Organization (SAGE WHO)
"Pelaksanaan program vaskinasi memerlukan persiapan yang baik dan komprehensif, termasuk penyusunan pedoman-pedoman terkait vaksinasi oleh perhimpunan profesi, pelatihan petugas vaksin, sosialisasi bagi seluruh masyarakat dan membangun jejaring untuk penanganan efek simpang vaksinasi," tegas Zubairi.
Keamanan dan efektifitas menjaadi yang utama selain keinginan agar program berjalan lancar.
"PB IDI berharap agar program vaksinasi ini dapat diterima dengan baik oleh masyarakat," ujar Zubairi.
https://www.kompas.com/tren/read/2020/10/22/181000165/5-pandangan-para-dokter-paru-untuk-vaksinasi-covid-19-di-indonesia