Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mengenal 5 Tradisi Masyarakat Saat Peringatan 1 Suro

KOMPAS.com - Tahun Baru Islam 1 Muharam 1442 H yang jatuh pada Kamis (20/8/2020) kemarin disambut dengan berbagai cara oleh masyarakat Indonesia.

Akulturasi dengan budaya daerah, menghasilkan tradisi unik di sejumlah daerah pada saat peringatan Tahun Baru Islam.

Mengutip Harian Kompas, 20 Juli 1990, masyarakat Jawa tradisional di sekitaran Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur, juga mengenal pergatian tahun ini dengan nama 1 Suro.

Mereka memaknai dengan penghayatan, prihatin, religius, dan penuh meditasi.

Untuk menyambut pergantian tahun ini, masyarakat biasanya mempersiapkan dengan matang, baik secara perseorangan atau kelompok.

Puasa mutih, mandi di tengah malam, meditasi, ziarah ke makam atau ke gunung, berjalan kaki sepanjang malam, hingga mengelilingi tembok keraton merupakan hal yang biasa dilakukan.

Berikut lima di antaranya tradisi masyarakat Jawa saat malam 1 Suro:

Tradisi jamasan pusaka menjadi salah satu kegiatan yang identik dilakukan pada bulan Suro.

Tradisi tersebut hadir di banyak tempat di pulau Jawa, baik di Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, dan juga Yogyakarta.

Seperti diberitakan Kompas.com, 1 September 2019, maksud dan tujuan jamasan pusaka yakni untuk mendapatkan keselamatan, perlindungan, dan ketentraman.

Upacara jamasan pusaka umumnya dilakukan secara bertahap. Pusaka yang dijamasi biasanya berbentuk keris, tombak, dan benda-benda pusaka lainnya.

Adapun, tahapan-tahapan yang dilalui dalam upacara tersebut dimulai dengan pengambilan pusaka dari tempat penyimpanannya, tirakatan (semedi), arak-arakan, dan tahap jamasan atau pemandiam.

Sebagian masyarakat Jawa menyakini benda-benda pusaka tersebut mempunyai kekuataan gaib yang akan mendatangkan berkah apabila dirawat dengan cara dibersihkan atau dimandikan.

Tradisi sedekah laut biasa dilakukan warga di sekitar pantai Baron dan Kukup, Kecamatan Tanjungsari, Gunungkidul, Yogyakarta, saat bulan Suro.

Seperti diberitakan Kompas.com, 10 September 2018, sedekah Laut di pantai Baron dimulai dengan kenduri yang diikuti warga yang mencari rezeki di sekitar pantai.

Masyarakat kemudian membawa makanan, gunungan yang berisi hasil bumi, ayam hitam, dan kepala kambing untuk dilarung di laut.

Tradisi kirab sura biasa digelar Keraton Kasunanan Surakarta di Jawa Tengah. Pada saat kirab, kerbau bule dan benda pusaka milik Keraton dikeluarkan.

Prosesi kirab biasa dimulai menjelang tengah malam, yakni pada pukul 23.00 WIB.

Seperti diberitakan Kompas.com, 22 September 2017, rute kirab dimulai dari Kori Kamendungan menuju Kawasan Sapit Urang depan keraton lalu menuju Jalan Sudirman.

Setelah itu, kirab menuju arah timur melewati Jalan Mayor Kusmanto, Jalan Kapten Mulyadi, Jalan Veteran, Jalan Yos Sudarso, lalu Jalan Slamet Riyadi, hingga bunderan Gladag dan kembali lagi menuju keraton.

Ratusan orang yang berkumpul khusuk saat menunggu kerbau milik keraton melintas. Setelah itu, mereka berebut sesaji.

Bagi sebagian warga, sesaji pada malam satu Suro dipercaya bisa memberikan keselamatan dan berkah.

Tapa bisu adalah tradisi yang dilakukan oleh abdi dalem Keraton Yogyakarta yang digelar setiap malam 1 Suro, sesuai penanggalan kalender Jawa.

Seperti diberitakan Tribun Jogja, 30 Agustus 2019, tapa bisu dilakukan dengan berjalan kaki mengelilingi benteng Keraton Yogyakarta di malam 1 Suro tanpa berbicara.

Tradisi mubeng beteng (keliling benteng) tanpa berbicara ini diprakarsai oleh Sultan Agung, Raja Mataram Islam pertama yang juga mencetuskan sistem penanggalan Jawa.

Dulunya, ritual ini dilakukan oleh para prajurit Keraton. Tidak sekadar tradisi, tapi kegiatan tersebut juga dalam rangka mengamankan lingkungan Keraton karena saat itu belum ada benteng yang mengitari lingkungan Keraton.

Sebagai tradisi, mubeng beteng tidak mengalami perubahan sejak pertama kali dilakukan. Ritual tersebut memutar dimulai dari sisi kiri atau barat Keraton, arah ini sesuai falsafah Jawa.

Kiri dalam bahasa Jawa berarti kiwo, yang berarti tujuan mubeng beteng adalah ngiwake atau membuang hal-hal buruk.

Pawai obor biasa diikuti berbagai kalangan, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa dan sesepuh di tempat tradisi itu digelar.

Seperti namanya, pawai obor digelar dengan membawa obor dan berjalan mengelilingi lingkungan tempat mereka tinggal.

Pawai biasa dimulai selepas shalat Isya, mereka yang mengikuti pawai akan berkumpul di lapangan.

Keriuhan rombongan pawai ini akan menarik perhatian warga yang menonton di pinggir jalan.

Tidak hanya berpawai, warga juga menghias halaman rumah mereka untuk menyambut pergantian tahun ini. 

https://www.kompas.com/tren/read/2020/08/21/131900465/mengenal-5-tradisi-masyarakat-saat-peringatan-1-suro

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke