Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Tapera, Akankah Jadi Solusi Perumahan Rakyat?

PROGRAM Tabungan Perumahan Rakyat atau Tapera menuai polemik. Program yang merupakan amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 ini bertujuan untuk membantu pembiayaan perumahan bagi pekerja kategori masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat, yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 20 Mei 2020, menjadi dasar hukum beroperasinya Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera).

Lembaga yang sebelumnya bernama Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan-Pegawai Negeri Sipil (Bapertarum-PNS) ini bertugas menghimpun dana (melalui iuran peserta) dan menyediakan dana jangka panjang dan berkelanjutan untuk pembiayaan perumahan bagi pesertanya.

Selain itu, BP Tapera juga diberi tugas memupuk dana tabungan melalui investasi di pasar modal dan pasar uang.

Yang wajib menjadi peserta

Seluruh pekerja diwajibkan menjadi peserta Tapera, baik yang belum maupun sudah memiliki rumah.

Pada tahap pertama, seluruh aparatur sipil negara (ASN), baik eks peserta Taperum-PNS dan ASN baru, diwajibkan membayar iuran Tapera mulai Januari 2021.

Kepesertaan diperluas secara bertahap. Tahap kedua adalah pekerja BUMN, BUMD, dan anggota TNI-Polri.

Tahap ketiga berlaku untuk pekerja swasta, pekerja mandiri, dan pekerja sektor informal. Perusahaan swasta diberikan waktu hingga tujuh tahun setelah terbitnya PP Tapera untuk mendaftarkan pekerjanya sebagai peserta.

Iuran peserta ditetapkan sebesar 3 persen dari gaji, dengan komposisi 0,5 persen ditanggung pemberi kerja dan 2,5 persen ditanggung oleh pekerja melalui pemotongan gaji.

Meski seluruh pekerja diwajibkan menjadi peserta Tapera, kredit kepemilikan rumah melalui program ini hanya dikhususkan bagi peserta kategori MBR (berpenghasilan Rp 4-5 juta per bulan) yang belum memiliki rumah. Selama ini kelompok MBR kesulitan dalam mengakses kredit kepemilikan rumah.

Peserta yang tidak termasuk kriteria di atas akan ditawarkan maanfaat lain, yakni dana renovasi rumah, dana membangun rumah di atas tanah sendiri, atau imbal hasil simpanan yang akan diperoleh jika kepesertaannya berakhir, yakni karena pensiun (usia 58 tahun) atau meninggal dunia.

Selain karena pensiun atau meninggal dunia, simpanan hanya bisa dicairkan jika peserta sudah tak lagi memenuhi kriteria sebagai peserta, dengan kata lain tak lagi menjadi pekerja alias menganggur, selama lima tahun berturut-turut.

Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman mengatakan program Tapera merupakan bentuk gotong-royong untuk memenuhi kebutuhan rumah yang merupakan hak warga negara sesuai konstitusi.

Membebani pekerja dan pengusaha

Program Tapera ramai dikritik kalangan pengusaha dan pekerja. Iuran Tapera dinilai semakin membebani di saat perkenomian yang sedang terpuruk karena pandemi Covid-19.

Selama ini pekerja dan perusahaan sudah dibebani berbagai iuran wajib. Setidaknya ada empat komponen yang sudah dipotong dari gaji pekerja:

  1. Iuran BPJS Kesehatan sebesar 5 persen (4 persen ditanggung perusahaan, 1 persen ditanggung karyawan)
  2. Jaminan Hari Tua (JHT) BPJS Ketenagakerjaan sebesar 5,7 persen (3,7 persen ditanggung perusahaan, 2 persen ditanggung karyawan)
  3. Jaminan Pensiun BPJS Ketenagakerjaan sebesar 3 persen (2 persen ditanggung perusahaan, 1 persen ditanggung karyawan)
  4. Pajak penghasilan (PPh 21) bagi pekerja berpenghasilan di atas Rp 4,5 juta per bulan.

Di luar itu, berbagai perusahaan juga menetapkan pemotongan gaji berdasarkan kebijakan masing-masing sesuai kesepakatan dengan pekerja, seperti iuran anggota koperasi hingga pemotongan karena tidak masuk kerja atau keterlambatan.

Masalah duplikasi manfaat juga menjadi sorotan. Manfaat kepemilikan rumah dalam program Tapera dinilai mirip dengan program Manfaat Layanan Tambahan (MLT) BPJS Ketenagakerjaan yang memberikan fasilitas pembiayaan perumahan bagi pesertanya yang belum memiliki rumah.

Sementara manfaat imbal hasil simpanan Tapera sama halnya dengan program JHT BPJS Ketenagakerjaan. Bagi pekerja yang berhenti dari pekerjaan atau di-PHK, pencairan simpanan Tapera bahkan dinilai lebih sulit karena baru bisa dilakukan setelah lima tahun menganggur.

Dana jumbo

Jumlah dana yang berpotensi dihimpun melalui program Tapera terbilang sangat besar. Komisioner BP Tapera, Adi Setianto, memperkirakan dalam lima tahun beroperasi penuh, pihaknya bisa menghimpun dana hingga Rp 70 triliun.

Berbagai pihak kini mewanti-wanti pengelolaan dana jumbo tersebut.

Ekonom Indef Bhima Yudhistira mengkhawatirkan penghimpunan dana Tapera bisa jadi akal-akalan pemerintah untuk mencari alternatif sumber pembiayaan di tengah melebarnya defisit anggaran karena ekonomi yang belum pulih akibat pandemi.

Dana Tapera akan diinvestasikan untuk membeli Surat Utang Negara (SUN). Artinya, pekerja diminta secara tidak langsung untuk membeli SBN (Surat Berharga Negara).

Sementara Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengingatkan BP Tapera untuk berhati-hati dan mematuhi kaidah tata kelola agar tak terjadi kasus gagal bayar seperti halnya yang dialami Asuransi Jiwasraya.

Lantas, apakah program Tapera akan menjadi solusi bagi perumahan rakyat?

Saksikan pembahasannya dalam talkshow Satu Meja The Forum, Rabu (10/6/2020), yang disiarkan langsung di Kompas TV mulai pukul 20.00 WIB.

https://www.kompas.com/tren/read/2020/06/10/093213465/tapera-akankah-jadi-solusi-perumahan-rakyat

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke