Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Hikmah Pandemi Covid-19 terhadap Riset dan Pengetahuan

SEJAK terjadinya pandemi Covid-19 dan banyak dari kita yang telah bekerja dari rumah, tanpa terasa kita menyerap dengan sangat cepat berbagai perkembangan terkait Covid-19, baik yang berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan virus tersebut.

Hal ini dimungkinkan dengan pemberitaan yang masif di media massa tentang Covid-19 dan diperkuat dengan penggunaan media sosial yang dengan sangat mudah meneruskan teks, gambar, audio, dan video baik secara pribadi maupun melalui kelompok.

Salah satu yang mungkin tidak terlalu kita sadari adalah tiba-tiba kita menjadi sangat ahli tentang seluk-beluk virus tersebut terutama cara penyebarannya dan cara menghindari infeksi.

Mari kita mulai dari yang paling terkait dahulu. Yaitu dengan sangat cepat masyarakat teredukasi mengenai definisi virus. Menurut Koonin et al (2006), virus adalah mikroorganisme patogen yang menginfeksi sel makhluk hidup.

Virus hanya dapat bereplikasi di dalam sel makhluk hidup karena virus tidak memiliki perlengkapan seluler untuk bereproduksi sendiri. Semua bentuk kehidupan dapat diinfeksi oleh virus, mulai dari hewan, tumbuhan, bakteri, dan arkea.

Organisasi kesehatan dunia, WHO mengatakan cara penyebaran virus corona melalui tetesan kecil yang keluar dari hidung atau mulut ketika mereka yang terinfeksi virus bersin atau batuk.

Tetesan itu kemudian mendarat di benda atau permukaan yang disentuh dan orang sehat. Lalu orang sehat ini menyentuh mata, hidung atau mulut mereka.

Virus Covid-19 juga bisa menyebar ketika tetesan kecil itu dihirup oleh orang sehat ketika berdekatan dengan yang terinfeksi Covid-19.

Dari sinilah kemudian terjadi perdebatan di kalangan para ahli mengenai apakah virus Covid-19 tersebut menyebar melalui tetesan (droplet) di suatu permukaan atau dapat juga melalui udara (airborne).

Akhirnya diskusi makin berkembang ke arah ukuran partikel yang menetes (berukuran kurang dari 20 mikromilimeter) dan ukuran partikel yang tersebar melalui udara (berupa aerosol berukuran kurang dari 10 mikromilimeter). Luar biasa!

Sehubungan dengan cara penyebaran tersebut, maka muncullah berbagai rekomendasi untuk mencegah penyebaran virus tersebut, antara lain berupa kampanye masif agar tidak menyentuh mata, hidung dan mulut dengan tangan, tidak berjabatan tangan dan sering mencuci tangan di bawah air mengalir dengan menggunakan sabun selama sekurangnya 20 detik untuk menghancurkan membran sel virus.

Karena tetesan virus bisa menempel di berbagai permukaan, seperti meja, tuas pintu, tombol lift/ATM, lantai, maka disarankan untuk sering membersihkan permukaan-permukaan benda yang rentan jadi media penularan tersebut.

Terjadi juga diskusi yang hangat tentang penggunaan masker serta jenisnya. Mulanya sebagian besar praktisi kesehatan hanya menyarankan penggunaan masker bagi yang sedang kurang sehat yang menyebabkan seseorang sering batuk dan bersin untuk menghindari menyebarnya tetesan virus.

Namun, dengan berkembangnya pendapat tentang penyebaran yang melalui udara, maka penggunaan masker untuk yang sedang berkegiatan di luar rumah menjadi sangat disarankan.

Apalagi, telah pula beredar berbagai video mengenai kebiasaan baik menggunakan masker di tempat umum di Jepang dan Ceko yang menyebabkan di kedua negara tersebut penyebaran virus Covid-19 lebih tekendali.

Diskusi mengenai masker pun berkembang mengenai berbagai jenis masker, cara penggunaan yang benar, dan alternatif masker buatan rumahan yang tetap bermanfaat untuk mencegah penyebaran Covid-19.

Beranjak ke aspek yang jauh lebih ke arah riset terkini. Saya memperoleh video yang sangat menarik tentang observasi yang dilakukan para peneliti di Wuhan, China, yang mengambil sampel aerosol di tiga tempat.

Ketiga tempat itu adalah Renmin Hospital of Wuhan University untu merawat pasien Covid-19 dengan gejala berat, Rumah Sakit Lapangan Wuchang Fangcang (hasil renovasi stadion olahraga indoor untuk pasien Covid-19 dengan gejala ringan), dan pada area publik terbuka di Wuhan selama wabah.

Yang diteliti adalah karakteristik aerodinamika konsentrasi ribo nucleic acid (RNA), yaitu molekul polimer yang terlibat dalam berbagai peran biologis dalam mengkode, dekode, regulasi, dan ekspresi gen, dari aerosol Covid-19.

Selama wabah, mereka meneliti RNA virus pada spesimen. Hasilnya, RNA virus yang ada di udara umumnya berasal dari konsentrasi virus yang bertahan.

Hampir tidak ditemukan RNA virus pada lokasi yang tidak ada kerumuman, seperti ICU dan ruang isolasi. Hanya sedikit RNA virus pada area toilet dan pintu keluar ruang staf.

Banyak RNA virus pada ruang ganti staf medis saat melepas alat pelindung diri (APD). Banyaknya RNA virus ini berbanding lurus dengan lamanya staf medis melakukan perawatan.

Ruang publik umumya memiliki konsentrasi RNA virus yang rendah, kecuali di sekitar tempat berkumpulnya orang seperti pintu masuk pusat perbelanjaan dan rumah sakit.

Pada penelitian Covid-19 di Singapura ditemukan bahwa 87 persen ruang rawat pasien dan 60 persen toilet (khususnya pada dudukan toilet, keran wastafel, dan tuas pintu) yang belum dibersihkan mengandung RNA virus dengan konsentrasi yang berarti.

Virus bertahan hidup dan menginfeksi sel atau manusia setelah tiba pada permukaan plastik hingga 72 jam dan pada stainless-steel, tembaga serta kardus hingga 24 jam.

Karena riset saya di bidang perilaku perjalanan (travel behaviour), maka keseharian saya dikelilingi mitra bestari di bidang tersebut.

Beberapa hari yang lalu, dalam beberapa grup WhatsApp bertema transportasi, seorang rekan peneliti dari Universitas Gadjah Mada mengedarkan kuesioner online mengenai dampak pandemi Covid-19 terhadap perilaku perjalanan.

Karena yang diukur adalah dampak, maka yang ditanyakan adalah perilaku perjalanan sebelum dan selama pandemi Covid-19 dalam hal frekuensi dan tujuan perjalanan, moda transportasi yang digunakan dan aktivitas sehari-hari yang dilakukan. Sungguh sebuah kejelian dalam memilih topik penelitian yang aktual dan bermanfaat.

Beberapa waktu lalu kakak sepupu saya seorang pramudi Transjakarta berbagi fotonya yang sedang bersiap melayani penumpang.

Pertama, yang bersangkutan menunjukkan bahwa dirinya sudah siap dengan masker terpasang. Kemudian, dia menunjukkan bagaimana social distancing diterapkan di Transjakarta dengan membatasi jumlah penumpang.

Agar terdapat jarak yang cukup antara penumpang, kursi yang tidak boleh digunakan ditandai stiker silang, dan area berdiri yang diizinkan diberi stiker garis memanjang.

Sangat menarik untuk diteliti mengenai tingkat ketaatan masyarakat terhadap ketentuan tersebut.

Perlu dikaji dampak sosial akibat pandemi. Kita lihat bagaimana suatu keluarga korban meninggal dunia akibat Covid-19 di Jawa Timur yang membawa pulang secara paksa jenazah dari rumah sakit untuk dilakukan pemuliaan jenazah (dimandikan, dikafani, dishalatkan, dan dimakamkan) secara biasa.

Sebagai akibat tidak memperlakukan jenazah sesuai ketentuan penenganan korban meninggal akibat Covid-19, maka seluruh keluarga yang terlibat menjadi orang dalam pemantauan (ODP).

Contoh lain adalah stigma yang diberikan kepada orang yang positif mengidap Covid-19, pasien dalam pengawasan (PDP) dan ODP.

Dalam konteks bersikap hati-hati dalam berinteraksi memang baik, tapi dalam konteks kecenderungan untuk melakukan pengucilan tentu tidak dapat dibenarkan.

Silakan juga amati berapa banyak resepsi pernikahan yang dibatalkan (atau nekad dijalankan lalu dibubarkan petugas).

Masih bersyukur jika akad nikah masih bisa tetap berjalan (dengan hadirin sangat terbatas) karena tidak ada kendala pergerakan calon pengantin dan keluarga besarnya.

Namun, tidak semua kasus sesederhana itu. Sebagai contoh Jabodetabek, yang merupakan zona merah Covid-19.

Penduduk di wilayah ini sudah sulit sekali untuk masuk ke daerah lain, apalagi dalam situasi pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang bakal berlaku di seluruh Indonesia melalui usulan pemerintah daerah kepada Kementerian Kesehatan. Ini adalah objek penelitian sosiologi hukum yang sangat aktual.

Teknologi disinfektan juga menjadi pembicaraan yang menarik di kalangan masyarakat. Kita melihat jalan raya dan tempat-tempat umum disemprot disinfektan secara massal, baik menggunakan drone maupun truk tangki.

Banyak juga kantor dan kompleks perumahan yang mensyaratkan tamu/ warga yang keluar masuk kantor/perumahan untuk disemprot disinfektan pada semuah bilik khusus. Tiba-tiba bisnis pembuatan dan penjualan bilik khusus ini pun menjamur.

Namun, para dokter mengingatkan bahayanya dan meragukan manfaatnya. Sekali lagi ada edukasi masyarakat pada kejadian ini.

Tiba-tiba kita pun dihadapkan pada kurangnya ketersediaan APD. Kita patut bersyukur bahwa berbagai elemen masyarakat termasuk sekolah kejuruan dan politeknik dengan sigap memproduksi berbagai komponen dari APD baik untuk yang dikenakan di badan maupun di wajah menggunakan spesifikasi yang ditetapkan WHO.

Di berbagai belahan dunia pun (termasuk di Indonesia melalui Lembaga Eijkman) juga berkembang riset untuk mengembangkan obat dan vaksin untuk Covid-19.

Namun, kita tahu bahwa untuk menghasilkan obat dan vaksin yang bisa digunakan di masyarakat, tidaklah mudah dan singkat karena terdapat banyak tahapan yang harus dilalui termasuk uji klinis.

Dalam rangka meningkatkan imunitas, juga digali berbagai obat dengan kategori jamu (tanaman obat) dari kearifan lokal yang ada di masyarakat.

Bicara soal imunitas, pasti Anda juga mengetahui perdebatan soal teknik berjemur di bawah sinar matahari untuk mendapatkan sinar ultra violet B yang dapat memacu produksi vitamin D pada tubuh kita (yang dapat meningkatkan imunitas).

Banyak video yang beredar dengan narasumber dokter yang menyarankan berjemur di antara pukul 10.00 hingga 14.00 selama sekitar 30 menit minimal 3 kali sepekan.

Belakangan muncul hasil riset dari Amerika Serikat bahwa khusus di negara khatulistiwa, seperti di Indonesia, sinar ultraviolet B yang baik untuk kesehatan keluar pada pukul 07.30 hingga 09.30.

Jadi yang pukul 10.00-14.00 cocok untuk situasi di intensitas sinar matahari Eropa yang jauh dari khatulistwa.

Para ahli pemodelan matematika juga turun tangan dengan mengembangkan model perkiraan puncak pandemi dan akhir pandemi.

Sebagaimana umumnya suatu model, maka dibuat berbagai skenario, sekurang-kurangnya untuk skenario do nothing dan do something.

Terakhir dalam situasi bekerja di rumah ini, terasa sekali manfaat web conference untuk berinteraksi secara aman dengan rekan kerja dan klien.

Beberapa aplikasi web conference dan e-learning yang di situasi normal menjadi fasilitas yang dipandang sebelah mata, pada situasi pandemi ini sangatlah menolong dalam berinteraksi tanpa meninggalkan rumah.

Leksmono Suryo Putranto
Guru Besar Jurusan Teknik Sipil Universitas Tarumanagara

https://www.kompas.com/tren/read/2020/04/07/115104465/hikmah-pandemi-covid-19-terhadap-riset-dan-pengetahuan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke