Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Bagaimana Media Sosial Pengaruhi Persepsi Publik terhadap Virus Corona?

KOMPAS.com - Era digital menyuguhkan berbagai kemudahan bagi penggunanya. Media sosial, misalnya, memangkas jarak komunikasi antar individu yang dulu dianggap mustahil.

Melalui media sosial, pengguna bisa berkomunikasi secara langsung dengan semua orang dan mengetahui apa yang sedang terjadi atau hangat diperbincangkan di berbagai belahan dunia.

Seperti halnya dengan kasus virus corona yang mulai merebak di China pada penghujung tahun 2019 lalu.

Banyak pihak tak mau ketinggalan dalam membagikan informasi terkait virus corona penyebab penyakit Covid-19 itu melalui kanal media sosial.

Derasnya informasi dan perbincangan publik di media sosial itu dibuktikan dengan kata "virus corona" atau "Covid-19" yang kerap menempati kata populer di media sosial.

Covid-19 di tengah pusaran media sosial

Dibandingkan dengan sejumlah virus sebelumnya seperti SARS, Flu Burung, MERS, dan Flu Babi yang sama-sama merebak di seluruh dunia, virus corona muncul di tengah angka pengguna aktif media sosial sangat tinggi, yaitu 3,6 miliar orang.

Berdasarkan data dari statisca.com, pengguna aktif media sosial Facebook pada 2020 mencapai 2,4 miliar, Youtube 2 miliar, WhatsApp 1,6 miliar, Instagram 1 miliar, dan Twitter 340 juta.

Dengan kondisi itu, muncul sebuah pertanyaan "seberapa besar media sosial berpengaruh pada pembentukan persepsi publik terhadap virus corona?"

Pengamat budaya dan komunikasi digital Firman Kurniawan mengatakan, keseimbangan informasi di era digital ini justru mudah tergoyangkan.

Dalam konteks virus corona, menurut Firman, magnitude informasi dan pemberitaan melalui media sosial begitu gencar dan bahkan dianggap menghebohkan oleh publik.

"Magnitude pemberitaannya lewat media sosial pun begitu gencar, dianggap menghebohkan oleh publik, sehingga kekhawatiran pun muncul," kata Firman kepada Kompas.com, Selasa (11/3/2020).

Publik pun mulai mencari tahu informasi agar terhindar dari ancaman virus ini.

Di tengah kekhawatiran itu, pemerintah Indonesia tampil dengan melihat virus corona sebagai sesuatu yang tak perlu ditakuti.

Sehingga publik pun kebingungan dan tak memiliki pegangan informasi yang bisa dijadikan sebagai patokan.

"Nah yang seperti itu, informasi justru ketika tersedia malah membingungkan masyarakat, membuat cemas," kata Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia itu. 

"Saking pedulinya masyarakat satu dengan yang lain, saling berbagi informasi. Informasi jadi terdistribusi semakin banyak. Malah itu menyebabkan ketidakpastian," tambahnya.

Infodemik
Kecemasan dan kepanikan masyarakat itu disebut Firman sebagai ketidakseimbangan informasi publik.

Akibatnya, banyak orang tiba-tiba memborong makanan dan masker, seperti yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir. Menurut Firman, hal itulah yang menjadi kekhawatiran baru WHO.

"Selain endemik yang bisa membunuh orang, justru banyaknya informasi membuat seseorang tidak terkendali. Itulah infodemik, yaitu ledakan informasi yang menjadi sesuatu itu tidak pasti. Itu selalu menyertai," tutupnya.

Oleh karena itu, Firman menganggap pemerintah tidak cukup hanya menunjuk juru bicara dan protokol penanganan virus, tapi juga ada satuan tugas (satgas) untuk memantau pembicaraan-pembicaraan apa yang berkembang di publik.

"Jadi yang belum ada di antara langkah pemerintah adalah mengikuti gejolak kecemasan publik. Itu tidak bisa dijamin dengan jubir dan dashboard informasi," tutupnya.

Firman menyebut, publik perlu memperoleh informasi yang sahih dan update. Namun demikian, menurutnya bukan jumlah informasi yang sebanyak banyaknya yang diperlukan.

"Informasi berkualitas yang harus dikonsumsi. Caranya pilih sumber-sumber terpercaya, yang mampu menyajikan keadaan sebenarnya dengan sederhana dan masuk akal," jelasnya. 

https://www.kompas.com/tren/read/2020/03/10/191137265/bagaimana-media-sosial-pengaruhi-persepsi-publik-terhadap-virus-corona

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke