JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia (UI) Aditya Perdana mengatakan, pangkal persoalan sejumlah aksi yang digelar dalam beberapa hari terakhir soal UU KPK versi revisi adalah prosesnya yang mengabaikan aspirasi publik.
Seperti diberitakan, sejak Senin (23/9/2019) hingga Rabu (25/9/2019), berlangsung aksi di sejumlah daerah yang berujung ricuh.
Ratusan orang mengalami luka-luka dan harus menjalani perawatan di rumah sakit.
Salah satu tuntutan massa adalah meminta Presiden Joko Widodo membatalkan UU KPK versi revisi dan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu).
Namun, Presiden Jokowi dan para menterinya menyatakan tak akan mencabut UU KPK.
"Nah itu sering kali dijadikan sasaran tombak bahwa Presiden dan DPR tidak mendengarkan aspirasi publik terkait dengan UU KPK," ujar Aditya saat dihubungi Kompas.com, Kamis (26/9/2019).
Menurut dia, jika sejak awal prosesnya mendengarkan aspirasi publik, situasi dalam beberapa hari ini tidak akan terjadi.
"Kalau seandainya UU KPK itu pembahasannya sangat partisipasif, meskipun kita tahu pasti ada penolakan, ada ketidaksetujuan," ujar Aditya.
"Akan tetapi, paling tidak melibatkan publik, mendengarkan aspirasi, terus Presiden juga membuka ruang itu dan sebagainya," kata dia.
Oleh karena itu, menurut dia, harus dibuka ruang bagi publik untuk memberikan aspirasinya kepada Presiden dan pemerintah.
Mengenai penerbitan perppu, salah satu syaratnya adalah dalam kondisi kegentingan yang memaksa.
Sejumlah pihak menilai, kondisi saat ini bisa disamakan dengan kondisi pada 2014 saat pemerintah dan DPR menyepakati pengesahan revisi UU Pilkada.
Saat itu, sejumlah poin revisi juga memunculkan kontroversi.
Pada masa itu, masyarakat menolak ketentuan revisi mengenai mekanisme pemilihan kepala daerah melalui DPRD yang diatur dalam UU Pilkada versi revisi.
Merespons gejolak publik, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kala itu membentuk tim pengkaji untuk menyiapkan perppu yang membatalkan ketentuan pemilihan kepala daerah lewat DPRD.
Meski demikian, menurut Aditya, terkait UU KPK, penerbitan perppu dinilainya belum tentu akan menyelesaikan tuntutan publik.
"Tidak mudah untuk mengatakan perppu itu pasti menyelesaikan masalah terkait dengan kepuasan publik terhadap UU KPK," ujar Aditya.
https://www.kompas.com/tren/read/2019/09/26/151550165/presiden-jokowi-dan-dpr-diminta-dengarkan-aspirasi-publik-soal-uu-kpk-versi