JAKARTA, KOMPAS.com - Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyerahkan mandat pengelolaan lembaganya kepada Presiden Joko Widodo pada Jumat (13/8/2019).
Saat menyampaikan keterangan kepada pers, Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan, Pimpinan KPK menunggu tanggapan Presiden terkait kepercayaannya kepada mereka untuk memimpin KPK hingga akhir Desember 2019.
Ketua Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada, Oce Madril menilai, Presiden harus memberikan jawaban mengenai bagaimana ia akan mengelola pemberantasan korupsi ke depan.
Di satu sisi, kata dia, KPK yang menjadi institusi inti dari pemberantasan korupsi justru dilemahkan.
"Jadi masyarakat sekarang menunggu juga, Presiden punya gagasan apa setelah KPK menyerahkan mandat ini kepada presiden," kata Oce saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (14/9/2019).
Menurut Oce, jalan terbaik adalah menangguhkan pembahasan revisi UU KPK.
"Presiden harus menangguhkan itu sampai kemudian menyelesaikan proses-proses perencanaan yang baik soal penataan pemberantasan korupsi ke depan," kata Oce.
Selain itu, Oce menilai, Presiden juga harus berdialog dengan berbagai stakeholder.
Hal itu bisa dilakukan dengan menggelar forum yang lebih partisipatif dengan melibatkan KPK dan stakeholder lainnya, kemudian menangguhkan pembahasan revisi UU KPK.
"Karena kalau tidak demikian ini kan akan terjadi kevakuman dalam pemberantasan korupsi," kata Oce.
Oce juga menyoroti pembahasan UU yang tidak melibatkan KPK. Menurut dia, proses yang terjadi saat ini sudah menyalahi asas pembentukan UU.
"Itu menurut saya sudah melawan prinsip pembentukan UU yang baik," ujar Oce.
Tamparan Keras
Sementara itu, seperti diberitakan Kompas.com, Sabtu (14/9/2019), Ahli Hukum Tata Negara dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera Bivitri Susanti menganggapnya sebagai tamparan keras bagi presiden.
Menurut dia, Presiden sebenarnya bukan tidak memahami, tetapi memang ada banyak dukungan yang menginginkan pelemahan KPK.
Bivitri juga mengapresiasi sikap Pimpinan KPK yang menunjukkan tidak ada lagi dukungan dari Presiden.
"Artinya mereka (Pimpinan KPK) menyatakan secara politik, kelihatan sekali mereka tidak bisa lagi membendung tidak adanya dukungan Presiden kepada KPK," kata Bivitri.
Ia menilai, pembuatan UU yang hanya dilakukan dalam waktu 10 hari menunjukkan tak ada lagi keinginan Presiden untuk memberantas korupsi.
"KPK tidak pernah diajak bicara. Tentu saja yang membuat undang-undang adalah DPR dan Presiden. Tetapi dalam pembentukan UU, setiap stakeholder harus diikutsertakan dan KPK tak pernah diikutsertakan," kata dia.
Pendapat lainnya diungkapkan Pakar Hukum Tata Negara dari Institut Pemerintahan Dalam Negeri, Juanda.
Dengan penyerahan mandat ini, menurut dia, Jokowi sekarang memegang tanggung jawab pemberantasan korupsi.
Mandat yang dimiliki KPK didapatkan dari negara melalui kewenangan eksekutif yang diformalkan dengan surat presiden.
Oleh karena itu, ketika mandat dikembalikan, maka saat itu juga semua tergantung kepada Presiden.
Juanda juga menyarankan agar Jokowi segera memanggil komisioner KPK yang masih ada dan memberi penegasan bahwa KPK harus berfungsi seperti biasa.
"Komisioner yang ada tetap mampu memberikan arahan kepasa karyawan bahwa kepentingan bangsa dan negara harus lebih diutamakan," kata dia, seperti dikutip dari Kompas.com (13/9/2019).
https://www.kompas.com/tren/read/2019/09/14/150306565/presiden-punya-gagasan-apa-setelah-pimpinan-kpk-menyerahkan-mandat