Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Cerita di Balik Peringatan Malam 1 Suro

Peringatan ini menandai pergantian tahun Hijriah.

Pada malam 1 Suro, biasanya digelar sejumlah tradisi dan gelaran budaya untuk merayakan malam yang dianggap sakral itu.

Di Surakarta misalnya, ada tradisi Kirab Kebo Bule.

Beberapa ekor kebo bule (kerbau berwarna putih) diarak keliling kota.

Bagi warga Surakarta, mereka percaya bahwa kerbau-kerbau itu turunan Kebo Bule Kiai Slamet yang dianggap keramat.

Perayaan-perayaan yang sama juga banyak dijumpai di berbagai daerah di Indonesia, seperti Yogyakarta dengan tradisi Mubeng Benteng.

Ada tradiri "Tapa Bisu Lampah Mubeng Beteng".

Tradisi ini digunakan sebagai sarana untuk merenung dan introspeksi atas berbagai hal yang telah terjadi selama setahun ini.

Seperti apa awal mula perayaan Malam 1 Suro atau malam Tahun Baru Hijriah?

Menilik sejarahnya, dikutip dari Harian Kompas, 4 Maret 1971, penetapan 1 Suro sebagai tahun baru Jawa dilakukan sejak zaman Sultan Agung Hanyokrokusumo.

Raja yang memimpin Mataram pada 1613-1645 itu mendapat gelar Wali Radja Mataram dari para ulama karena berjasa dalam menyebarkan ajaran Islam tanpa menghapus tradisi Jawa.

Pada 1633 M atau tepat pada tahun Jawa 1555, Sultan Agung mengadakan pesta atau selametan secara besar-besaran.

Dalam pesta itu juga, Sultan Agung menyatakan bahwa Tahun Jawa atau Tahun Baru Saka berlaku di kerajaan bumi Mataram.

Tak hanya itu, Sultan juga menetapkan Satu Suro sebagai tanda Tahun Baru Jawa.

Mengutip pemberitaan Kompas.com, 10 September 2018, keputusan ini diambil setelah dilakukan perpaduan kalender Hijriah dan kalender Jawa.

Sistem penanggalan Islam, sistem penanggalan Hindu, dan sedikit pengaruh penanggalan Julian dari Barat dipadukan.

Selanjutnya, Sultan Agung mengeluarkan sebuah dekrit.

Dekrit itu menyatakan mengganti penanggalan Saka yang berbasis putaran matahari dengan kalender Qamariah yang berbasis putaran bulan.

Dengan adanya perubahan ini, maka setiap angka tahun Jawa diteruskan dan berkesinambungan dengan tahun Saka.

Sementara itu, dikutip dari belajar.kemdikbud.go.id, penetapan 1 Muharam sebagai awal kalender Islam dilakukan sejak zaman Khalifah Umar bin Khatab.

Untuk memperkenalkan kalender Islam pada masyarakat Jawa, maka Sunan Giri II membuat penyesuaian antara sistem kalender Hijriah dengan sistem kalender Jawa pada tahun 931 H atau 1443 tahun Jawa baru.

Pada saat itu, Sultan Agung menyerukan agar rakyatnya bersatu untuk melawan Belanda di Batvia demi menyatukan Pulau Jawa.

Oleh karena itu, ia menyatukan seluruh kalangan masyarakat, termasuk kaum santri dan abangan.

Untuk mengontrol pemerintahannya, setiap hari Jumat Legi (hari pasaran Jawa) diadakan laporan pemerintahan setempat.

Tak hanya itu, kegiatan tersebut juga disertai dengan pengajian yang dilakukan oleh para penghulu kabupaten, sekaligus diadakan ziarah kubur dan haul ke makam Ngampel (Sunan Ampel) dan Giri.

Oleh karena itu, 1 Muharam atau 1 Suro yang dimulai pada hari Jumat Legi secara tidak langsung turut dianggap sakral.

https://www.kompas.com/tren/read/2019/08/31/191949265/cerita-di-balik-peringatan-malam-1-suro

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke