KOMPAS.com - Peristiwa Gerakan 30 September 1965 atau G30S merupakan salah satu tragedi bersejarah yang terjadi di Indonesia.
G30S adalah peristiwa penculikan enam jenderal dan satu perwira yang dilakukan oleh sekelompok orang yang menyebut diri mereka 'Gerakan 30 September' pada 1 Oktober 1965 dini hari.
Menurut sejarah, gerakan ini dilakukan sebagai dalih untuk mengatasi upaya kudeta yang diduga akan dilakukan oleh Dewan Jenderal terhadap Presiden Soekarno.
Akan tetapi, pada hari G30S terjadi, Soekarno justru tidak berada di tempatnya.
Lalu, di mana Soekarno ketika G30S terjadi?
Baca juga: Dampak Peristiwa G30S bagi Bangsa Indonesia
Menurut pernyataan salah satu ajudan Soekarno, yaitu Kolonel Bambang Widjanarko, ketika G30S terjadi, Presiden Soekarno sedang tidak berada di tempat.
Pada 30 September 1965 sekitar pukul 23.00, Kolonel Bambang memohon petunjuk Soekarno apakah akan ada perubahan acara pada keesokan hari, yaitu tanggal 1 Oktober 1965.
Bambang menyebutkan, salah satu jadwal Bung Karno pada 1 Oktober 1965 adalah bertemu dengan Wakil Perdana Menteri Leimena dan Pangad Jenderal Ahmad Yani.
Akan tetapi, keesokan paginya, setelah acara gladi resik peringatan HUT ABRI di Parkir Timur Senayan, Bambang tidak menemukan Presiden Soekarno di Istana Merdeka.
Tidak lama berselang, Bambang mendapat kabar dari Kolonel Sumirat dan AKBP Mangil Martowidjojo soal keberadaan Soekarno.
Rupanya, pada 30 September 1965 malam hari, Soekarno menginap di rumah Ibu Dewi (Ratna Sari Dewi) di Wisma Yaso, Jalan Gatot Subroto.
Sekitar pukul 06.00 paginya, Presiden Soekarno yang diantar oleh Pak Mangil dan dikawal oleh pengawal pribadinya, pergi meninggalkan kediaman Ibu Dewi menuju Istana Merdeka.
Namun, di tengah perjalanan menuju istana, Soekarno pindah haluan ke rumah istri keduanya, Haryati, yang terletak di Slipi.
Baca juga: Kisah Penyamaran Istri Pemimpin PKI Usai Peristiwa G30S
Alasan Soekarno berpindah haluan karena dia mendapat kabar bahwa Istana Merdeka telah dikepung pasukan yang tak dikenal.
Menurut Bambang, pada pagi hari 1 Oktober 1965, Istana Merdeka memang benar telah dikelilingi pasukan bersenjata lengkap dengan kain berwarna kuning melingkar di leher.
Dari Slipi, Soekarno mendapat saran untuk segera mengungsi ke Halim Perdanakusuma.
Mengenai hal ini, Bambang tidak menyebutkan saran itu berasal dari siapa.
Sesampainya di Halim Perdanakusuma, Soekarno disambut oleh Panglima Angkatan Udara Omar Dhani dan segera ditempatkan di rumah seorang perwira tinggi.
Soekarno sampai di Halim Perdanakusuma sekitar pukul 09.00 pagi untuk menemui beberapa perwakilan Angkatan Darat yang hendak menemuinya di Istana Merdeka beberapa jam sebelumnya.
Namun, setibanya Presiden Soekarno di Halim Perdanakusuma, para jenderal yang akan dipertemukan dengannya telah tewas dan mayat mereka disebutkan dibuang ke dalam sebuah sumur yang dikenal Lubang Buaya.
Baca juga: Apakah Jenderal AH Nasution Selamat dari Peristiwa G30S?
Mengetahui informasi tersebut, Soekarno segera memerintahkan Komisaris Besar Polisi Sumirat untuk memanggil para Panglima Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Panglima KODAM V Jaya untuk meminta penjelasan mengenai situasi genting tersebut.
Lebih lanjut, presiden juga harus segera bertindak untuk mengatasi situasi hari itu yang sudah karut-marut.
Sekitar pukul 10.45, Brigadir Jenderal Sabur tiba dari Bandung turut melaporkan situasi gawat saat itu.
Lalu, sekitar pukul 11.30, Presiden Soekarno beristirahat di rumah Komodor Susanto, Pilot Jet Star yang berpangkalan di Halim Perdanakusuma.
Sekitar pukul 12.00 siang, melalui radio transmitter pinjaman Komodor Susanto, Soekarno mendengar pengumuman dari Letnan Kolonel Untung yang mengatasnamakan Dewan Revolusinya.
Karena kondisi yang semakin tidak kondusif, pimpinan Resimen Cakrabirawa memutuskan mengamankan Presiden Soekarno ke Istana Bogor.
Buntut dari peristiwa G30S adalah Soekarno mengeluarkan Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar pada 11 Maret 1966.
Isi Supersemar adalah Soekarno memberi mandat kepada Menteri/Panglima Angkatan Darat Soeharto untuk mengambil segala tindakan dalam upaya mengatasi konflik yang terjadi.
Supersemar inilah yang kemudian membawa Soeharto naik tampuk kekuasaan menggantikan kedudukan Soekarno sebagai Presiden Indonesia sejak 1967-1998.
Referensi: