KOMPAS.com - Sri Susuhunan Pakubuwono VII adalah raja Kasunanan Surakarta yang memerintah antara 1830-1858.
Selama berkuasa, kondisi pemerintahannya cukup stabil, karena pemberontakan hampir tidak ada dan Belanda sedang memulihkan kekuatan pasca Perang Diponegoro.
Oleh karena itu, Pakubuwono VII lebih memilih fokus untuk membuat kebijakan agar rakyatnya sejahtera.
Lahir di Surakarta pada 28 Juli 1796, Pakubuwono VII adalah putra Pakubuwono IV dari istrinya, Raden Ayu Sukaptinah atau Kanjeng Ratu Kencana Wungu.
Nama kecilnya Raden Mas Malikis Solikin, dan saat tumbuh dewasa bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Purbaya.
Raden Mas Malikis Solikin naik takhta pada 14 Juni 1830, menggantikan keponakannya, Pakubuwono VI, yang dibuang ke Ambon oleh Belanda.
Setelah menduduki takhta, ia mendapatkan gelar Sri Susuhunan Pakubuwono VII.
Kondisi pemerintahan saat Pakubuwono VII berkuasa di Kasunanan Surakarta cukup stabil, karena tidak banyak terjadi konflik internal ataupun gangguan eksternal dari Belanda.
Pasalnya, saat Pakubuwono VII naik takhta, Belanda baru saja menghadapi Perang Diponegoro yang berlangsung selama lima tahun.
Peperangan yang meluas hingga ke berbagai daerah di Jawa itu membuat Belanda kehilangan banyak sumber daya untuk mendukung perang.
Baca juga: Sri Susuhunan Pakubuwono VI: Kehidupan, Penangkapan, dan Akhir Hidupnya
Pada periode pemerintahan Pakubuwono VII, kreativitas seni dan sastra di keraton dapat berkembang.
Bahkan oleh beberapa sejarawan dianggap sebagai puncak kejayaan sastra di Kasunanan Surakarta.
Hal ini ditandai dengan kehadiran pujangga-pujangga besar, salah satunya Raden Mas Ngabehi Ronggowarsito.
Sebagian besar karya Ronggowarsito memang lahir pada masa pemerintahan Pakubuwono VII.
Selama memerintah, Pakubuwono VII mempunyai beberapa kebijakan yang ditujukan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakatnya, di antaranya: