Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Keterkaitan antara Hak Tawan Karang dan Perlawanan Rakyat Bali

Hukum ini memberi hak kepada para penguasa di Bali dan rakyat yang tinggal di tepi pantai untuk menguasai seluruh isi kapal asing yang terdampar di perairannya, sedangkan penumpangnya dapat diperbudak atau bila perlu dibunuh.

Pada masa penjajahan Belanda, Hak Tawan Karang mempunyai keterkaitan dengan meletusnya perlawanan rakyat Bali.

Apa keterkaitan antara Hak Tawan Karang dan perlawanan rakyat Bali?

Posisi Hak Tawan Karang dalam perang Bali

Perlawanan rakyat Bali terhadap Belanda diawali dengan protes Belanda terhadap Hak Tawan Karang.

Hak Tawan Karang merupakan adat yang melembaga di masyarakat Bali.

Raja-raja Bali dan Lombok bahkan menetapkan berbagai peraturan mengenai tawan karang, yang diwujudkan dalam perjanjian-perjanjian.

Isi perjanjian tawan karang menyatakan bahwa raja pemilik pantai tempat kapal terdampar diharuskan memberi tahu raja dari tempat asal perahu beserta muatan-muatannya dan para penumpangnya.

Raja dari asal perahu tersebut diberi tenggang waktu selama 25 hari untuk membayar uang tebusan dalam jumlah tertentu, masing-masing bagi laki-laki dan perempuan.

Bila tebusan tidak dibayar tepat waktu, maka penumpang beserta separuh muatan perahu menjadi hak raja pemilik pantai, sementara separuh muatan lagi menjadi milik rakyak pantai bersangkutan.

Ketentuan-ketentuan ini berlaku bagi raja-raja yang menyepakati perjanjian.

Pihak di luar perjanjian, hampir tidak diberi keringanan seperti yang disebutkan.

Pada tahun 1817, Hukum Tawan Karang menjerat Belanda, saat kapal pimpinan Van den Broeke yang dikirim untuk mendirikan sebuah pangkalan dagang di Bali, terdampar di Badung dan muatannya dirampas oleh penguasa setempat.

Peristiwa serupa terjadi beberapa kali, hingga mengganggu kepentingan pelayaran dan perdagangan Belanda di perairan Bali.

Pihak Belanda berupaya menghapuskan Hak Tawan Karang dengan jalan damai, yaitu dengan membuat perjanjian dengan raja-raja Bali.

Meski raja-raja di Bali mau menaati isi perjanjian, tetapi dalam praktiknya Hukum Tawan Karang masih dilaksanakan oleh rakyat.

Tidak putus asa, Belanda memaksa raja Bali untuk menghapuskan Hak Tawan Karang.

Hal itu terlihat dalam perjanjian-perjanjian yang diajukan hampir semua memuat pasal yang menghendaki agar raja mau menghapus Hak Tawan Karang.

Sikap Belanda yang begitu ngotot, lambat laun membuat raja-raja Bali menyadari bahaya yang mengancam wilayahnya.

Belanda, yang sangat berkepentingan untuk menanamkan kekuasaannya di Bali, sudah tentu memanfaatkan ketegangan akibat Hukum Tawan Karang dengan sebaik mungkin.

Puncaknya, pada 1844, Gubernur Jenderal P Merkus mengirim utusan Belanda ke Buleleng di bawah pimpinan Assisten Residen Banyuwangi, untuk menuntut ratifikasi pelaksanaan perjanjian terdahulu.

Ternyata, I Gusti Ketut Jelantik atas nama raja Buleleng menolak ratifikasi tersebut.

Kejadian-kejadian semacam itulah yang kemudian menjadi bibit sengketa yang menyebabkan meletusnya perlawanan rakyat Bali terhadap Belanda.

Dengan kata lain, keterkaitan antara Hak Tawan Karang dan perlawanan rakyat Bali adalah Hak Tawan Karang memicu sengketa dengan Belanda yang menyebabkan meletusnya perlawanan rakyat Bali.

Referensi:

  • Sutaba, I Made. (1983). Sejarah Perlawanan terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Bali. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional.

https://www.kompas.com/stori/read/2024/02/14/180000679/keterkaitan-antara-hak-tawan-karang-dan-perlawanan-rakyat-bali

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke