KOMPAS.com - Tragedi Stadion Kanjuruhan telah tercatat dalam sejarah kelam sepak bola. Agar pada masa mendatang tidak terjadi lagi insiden seperti di Kanjuruhan, pemahaman mengenai mitigasi bencana sangat diperlukan ketika menggelar pertandingan sepak bola.
Sabtu (1/10/2022) menjadi hari paling memilukan dalam sejarah sepak bola Indonesia. Ratusan nyawa melayang setelah pecahnya kericuhan pasca-laga Arema FC vs Persebaya Surabaya.
Pertandingan Derbi Jawa Timur itu sebenarnya berjalan lancar dengan skor akhir 3-2 untuk kemenangan tim tamu, Persebaya Surabaya.
Akan tetapi, setelah laga usai, oknum suporter Arema FC turun ke lapangan. Mereka lantas terlibat kericuhan dengan pihak keamanan.
Aparat keamanan coba menghalau suporter dengan menembakkan gas air mata yang secara tegas dilarang penggunaannya oleh FIFA.
Tembakan gas air mata yang mengarah ke tribune tersebut disinyalir menjadi penyebab para suporter mengalami sesak napas, pingsan, hingga memakan korban jiwa.
Hingga Minggu (2/10/2022) malam WIB, tercatat ada 125 orang meninggal dunia akibat kericuhan di Stadion Kanjuruhan.
Insiden Kanjuruhan itu pun menjadi salah satu tragedi terbesar dalam sejarah sepak bola dunia.
Baca juga: Tragedi Kanjuruhan, dari Pernyataan Presiden Jokowi hingga Presiden FIFA
Berdasarkan fakta-fakta di lapangan, ada beberapa faktor yang melatar belakangi timbulnya kericuhan di Kanjuruhan.
Menurut laman resmi PT Liga Indonesia Baru (LIB), jumlah penonton laga Arema FC vs Persebaya di Stadion Kanjuruhan mencapai 42.588 orang. Angka ini sudah melebihi kapasitas maksimal stadion (102 persen).
Jam kick-off yang terlalu malam (20.00 WIB) juga menimbulkan persoalan.
Meski Bonek tidak hadir di Kanjuruhan, laga Arema FC vs Persebaya tetap merupakan pertandingan berisiko tinggi mengingat latar belakang rivalitas kedua klub.
Sebelum pertandingan, pihak kepolisian diketahui meminta agar laga Arema FC vs Persebaya digeser dari pukul 20.00 WIB menjadi pukul 15.30 WIB.
Permintaan itu dijawab oleh PT LIB yang menyatakan bahwa duel Arema FC vs Persebaya tetap berlangsung sesuai jadwal, yakni pukul 20.00 WIB.
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang juga pemerhati sepak bola Indonesia, Fajar Junaedi, berpendapat bahwa dua hal itu menjadi faktor penyebab terjadinya tragedi di Stadion Kanjuruhan.