Versi cetak artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 3 Oktober 1988
Penulis: Irving Rivai Noor, Kris JB, dan Antonius Waluyono Subarkah
KOMPAS.com - Rasa haru masih menggurat di wajah Nurfitriyana Saimana, satu dari tiga srikandi Indonesia yang pegang kendali sukses merebut medali perak pada Olimpiade 1988 di Seoul, Korea Selatan.
Hal itu bisa dimaklumi lantaran Fit, panggilan akrabnya, serta dua rekannya, Lilies Handayani dan Kusuma Wardhani, memang menggores sejarah dalam lembaran olahraga Indonesia.
Untuk pertama kalinya dalam 36 tahun, Indonesia dapat medali.
Fitriyana mengakui dengan jujur merasa memikul beban berat bersama kedua rekannya.
Tidak lain karena belum ada satu medali perunggu pun yang dikantongi tim Indonesia sampai hari-hari terakhir.
Filipina dan Thailand, dua negara rival Indonesia, sekurang-kurangnya sudah mengantongi satu perunggu dari cabang olahraga lain.
Tetapi, Indonesia, negara terkuat di Asia Tenggara, malah belum dapat apa-apa.
Pecahnya konsentrasi seperti itu, tentu akan sangat mengganggu penampilan mereka di lapangan.
Baca juga: Diananda Choirunisa, Atlet Panahan Indonesia pada Olimpiade Tokyo 2020
Padahal, panahan sangat membutuhkan konsentrasi tinggi.
"Itu yang saya takutkan," ujar Fitri terbata-bata seusai sukses di Lapangan Panahan Hwarang, Seoul.
Apalagi, tambahnya, perolehan angka yang didapat sama dengan hasil milik pemanah putri Amerika Serikat.
Hanya satu yang jadi pegangannya, yakni modal yang sudah ada tidak boleh hilang, dan Fitriyana berhasil mengatasinya.
Setelah diadakan adu ulang dengan tim putri AS, akhirnya Indonesia-lah yang menang dan berhak memperoleh medali perak.
"Saya puas bisa menyumbangkan sesuatu buat negara," kata Fitri dengan nada lemah.
Tetapi, di balik kelemahan, karena menuntaskan seluruh tenaga dan kemampuan, Fitri tidak bisa duduk diam.
Jabatan tangan yang diulurkan diterimanya dengan senyum, dan mungkin itulah senyum termanis yang pernah dilontarkan Nurfitriyana selama berkarier di cabang panahan.