Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Harga Tanaman Porang Mahal, Pakar IPB Ingatkan Awas Cuma Euforia

KOMPAS.com- Belum lama ini tanaman porang semakin menggiurkan para petani karena harga jualnya yang relatif tinggi dibandingkan tanaman umbi-umbi lainnya.

Salah satunya adalah Heriyanto, seorang petani porang asal Blora, Jawa Tengah, yang mengungkapkan keuntungan yang didapat dalam menanam porang bisa sampai ratusan juta setiap kali panen.

Namun, menurut Ketua Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof Dr Edi Santosa S.P M.Si, tingginya harga jual tanaman umbi Porang ini cukup mengkhawatirkan.

"Tantangan kita saat ini adalah bagaimana proses budidaya porang itu jangan membuat harganya yang mahal," kata Edi kepada Kompas.com, Sabtu (4/4/2021).

"Kalau saya prinsipnya begitu ya. Agar ke depannya dapat berkelanjutan," imbuhnya.

Menurut Edi, saat ini harga porang mahal hanya dikarenakan momen atau euforia sesaat saja. Makanya, harga porang di pasaran satu kilogram bisa dijual dengan harga sekitar Rp5.000-Rp10.000.

"Nah, itu menurut saya terlalu mahal," ucap dia.

Berikut alasan harga jual porang saat ini harus diturunkan karena terlalu mahal.

1. Biaya produksi kecil

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa mahal dengan tidaknya suatu produk pertanian itu sebenarnya harus disesuaikan dengan biaya produksi.

Sementara, harga atau biaya produksi untuk budidaya dan penanaman hingga perawatan porang terbilang relatif mudah dan murah dibandingkan biaya produksi tanaman umbi lain.

Untuk diketahui, porang merupakan tanaman yang bisa hidup di wilayah mana saja. Asalkan tanahnya gembur, tidak basah dan terkena kontaminasi infeksi.

Selain itu, perawatan budidaya porang pun tidak memerlukan penyemprotan disinfektan secara rutin. Serta, pemupukan pun cukup dilakukan sekali selama masa tanam di musim kemarau.

Tidak hanya itu, jika musim kemarau telah berlalu, dan petani tidak sempat memanennya. Pada musim hujan, tanaman porang akan layu dan seolah mati.

Akan tetapi, untuk di musim kemarau periode berikutnya, jika dipupuk dan dibersihkan rumput atau alang-alang di sekitar tanaman porang masih akan tumbuh dan berbuah lagi.

"Makanya kalau tidak sempat panen, bisa sampai tiga tahun ke depan, itu nanti hasilnya gede (besar umbinya) kalau dirawat," ucap dia.

Dengan kata lain, kata dia, setelah ditanam, tanaman porang bahkan bisa ditinggal begitu saja dan akan tetap bertumbuh tanpa perawatan yang optimal.

Edi membandingkan proses dan biaya budidaya ini dengan tanaman lainnya seperti Jagung.

Dalam proses budidaya Jagung, setelah seminggu para petani menanam bibit Jagung. Mereka harus kembali lagi untuk melakukan pemupukan, kemudian disemprot fungisida atau pun insektisida, dipupuk lagi dan begitu seterusnya hingga panen.

"Itu (jagung) sekilo Rp3.000 juga," ujarnya.

"Yang satu (porang) tinggal gali, gali, gali, tarok, tidur. Bangun tidur, kita gali, kita jual Rp3.000 (porang). Nah, menurut saya itu mahal," tambahnya.

Adapun, jika tanaman Porang memang ingin dijual dengan harga mahal, tanaman porang harusnya ditanam dimedia tumpangsari seperti padi dan lainnya.

Jika tanaman porang ditanam di tanaman tumpangsari lainnya, memang bukan berarti biaya produksinya menjadi mahal. Hanya saja ini akan seimbang dengan harga jual padi dari sawah tersebut.

2. Rantai produksi 

Alasan kedua yang perlu diperhatikan oleh para petani adalah keberlanjutan rantai produksi Porang ini.

"Karena kalau misalnya suatu produk sangat dibutuhkan, tetapi harganya sudah tidak terjangkau. Nanti, industri akan mencari (bahan baku) alternatif lain. Ya nggak?" tegasnya.

Alhasil, jika pun banyak masyarakat beralih menjadi petani porang. Tetapi, rantai distribusi dan konsumennya sukar dicari.

Rekomendasi pakar IPB

Edi berkata, saat ini masih ada waktu untuk menata rantai produksi dan distribusi tanaman porang secara berkelanjutan.

Sebelum, kebermanfaatan dan kesejahteraan petani porang hanya sebatas euforia sesaat saja.

Edi merekomendasikan agar para petani dapat menekan biaya produksi agar tidak terlampau mahal, supaya hasil panen bisa dijual dengan harga yang standar.

Misalnya, jika petani sekarang membeli bibit dan harganya mahal. Maka, untuk ke depannya seharusnya tidak perlu membeli bibit lagi. Melainkan membuat bibit porang sendiri.

"Soalnya dari katak Porang yang ada bisa dijadikan bibit selanjutnya. Jadi nggak perlu beli lagi. Jadi biaya produksi bisa dmurah tuh," ucap dia.

Jika biaya produksi dikurangi, maka kata Edi, berdasarkan perhitungan sebenarnya hasil panen bisa dijual sekitar Rp500-Rp1000 per kilogram.

"Jadi, nggak over value," ucap dia.

Sementara, meskipun saat ini masih ada konsumen yang mampu membeli dengan harga maksimal Rp5.000. Tetapi dikhawatirkan ini tidak akan berlangsung lama.

Sebab, biaya produksi industri untuk menjadikan tanaman porang sebagai bahan baku juga akan menghasilkan produk dengan harga lebih tinggi lagi.

https://www.kompas.com/sains/read/2021/04/20/090200023/harga-tanaman-porang-mahal-pakar-ipb-ingatkan-awas-cuma-euforia

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke