Raden Muhammad Mihradi
Dosen

Direktur Pusat Studi Pembangunan Hukum Partisipatif
dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Pakuan.

Demokrasi Disandera Oligarki

Kompas.com - 20/11/2021, 14:58 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oligarki sultanistik Orba akhirnya runtuh dengan reformasi 1998, yang salah satu penyebab internalnya adalah mulai terlibatnya putra-putri Soeharto dalam bisnis yang tidak sehat.

Akibatnya, ini dinilai mengancam kepentingan para oligark lainnya, yang telah lebih dahulu menikmati akses bisnis dari Soeharto selama ini.

Kondisi seperti itu memperburuk legitimasi Soeharto hingga akhirnya mengundurkan diri sebagai presiden.

Kedua, pasca-reformasi, oligarki tidak musnah. Dia terdesentralisasi ke berbagai aktor. Bahkan bersalin rupa strategi.

Di masa Soeharto, para oligark menempel kepada negara yang dalam analisis Marxis dinilai sebagai komite atau panitia yang bekerja untuk menyelenggarakan kepentingan borjuis.

Sementara, di era reformasi, berdasarkan analisis Robertus Robert, para oligark tidak lagi memanfaatkan perantara negara untuk mencapai tujuannya. Mereka masuk ke dalam negara.

Istilahnya, oligarki memperluas karakter kapital ke dalam politik dan negara. Ia menginvasi dunia politik, menaklukannya, dan mengkloning dunia politik menjadi dunia bisnis.

Dengan bahasa jenih, Robertus Robert menulis, para oligark tidak hanya bermain di belakang para politisi dan elite rezim demokratis melainkan secara langsung memimpin partai, membentuk koalisi pemerintahan, memobilisasi opini publik melalui bisnis media mereka dan menentukan jabatan-jabatan publik baik di pusat maupun lokal.

Di tangan mereka, negara sudah seperti cabang bisnis bagi elite kekuasaan untuk kepentingan bisnis mereka (Abdil Mughis Mudhofir dkk, Oligarki: Teori dan Kritik, 2020:181-182).

Bisa jadi, pola oligarki ini pula yang menggejala pada isu soal bisnis Polymerase Chain Reaction (PCR) yang belum lama ini diramaikan di ruang publik.

Kebetulan pejabat publik pengambil kebijakan di bisnis PCR diduga memiliki konflik kepentingan dengan korporasi pebisnis PCR itu sendiri.

Tentu dari sisi hukum, biarlah para penegak hukum memverifikasi dan memvalidasi yang akan dibuktikan di pengadilan, apakah bisnis PCR yang diributkan memiliki unsur pelanggaran hukum, baik korupsi ataupun konflik kepentingan secara hukum.

Namun publik wajib mencermati prosesnya sebagai konsekuensi demokrasi.

Apa implikasinya oligarki bagi demokrasi? Jelas, dampaknya, kepentingan demos atau rakyat secara umum terancam.

Karena, kebijakan publik bisa jadi diinvasi menjadi sekadar kebijakan yang menguntungkan pebisnis, elite, dan privat.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Komentar
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com