Jeng Yah juga mengalami kekerasan verbal dari Budi, penyuplai tembakau untuk pabrik kretek milik ayahnya karena tersinggung dengan ucapan Jeng Yah yang mengatakan bahwa selama ini tembakau dijualnya kepada ayahnya ternyata bukanlah kualitas terbaik.
Masalah seksisme lainnya juga diperkuat melalui tokoh Dibyo (Whani Darmawan), satu-satunya peracik saus kretek yang bekerja di pabrik kretek Idroes.
Dibyo sangat benci kepada Jeng Yah yang kedapatan pernah masuk ke ruangan tempat ia meracik saus kretek.
Dibyo tidak segan-segan memaki Jeng Yah di depan ayahnya sendiri dan secara lantang mengatakan bahwa keberadaan perempuan di dalam ruangannya akan merusak cita rasa saus.
Ia harus membersihkan ruangannya untuk menghilangkan bau perempuan demi menjaga kualitas cita rasa saus buatannya.
Tidak hanya itu, meskipun Jeng Yah pada akhirnya diberikan kesempatan oleh Seno untuk kembali meracik saus kretek, namun identitasnya sebagai peracik saus kretek harus disembunyikan dari publik dan diganti dengan nama Eko, sahabat Seno.
Hal ini dikarenakan status Jeng Yah sebagai mantan tahanan politik tahun 1965-an yang tidak memberikannya ruang dan kesempatan untuk bekerja.
Selain itu, interseksi gender, politik, sosial, dan budaya inilah yang juga turut meniadakan kontribusi perempuan dalam Industri kretek.
Di sepanjang film, kita melihat bahwa menghisap kretek lazim dilakukan oleh perempuan pada zaman itu. Ini tidak hanya dilakukan oleh Jeng Yah saja, tapi juga ibunya (Ine Febriyanti).
Namun bukan berarti perempuan punya hak sama dalam industri kretek.
Nyatanya, melalui film ini dunia kretek masih didominasi oleh kaum laki-laki. Sementara peran dan keterlibatan perempuan dibatasi hanya sebagai konsumen dan pelinting kretek di pabrik saja, bukan sebagai peracik saus.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.