Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
BRIN
Badan Riset dan Inovasi Nasional

Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) adalah lembaga pemerintah yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia. BRIN memiliki tugas menjalankan penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan, serta invensi dan inovasi yang terintegrasi.

Tegar

Kompas.com - 26/11/2022, 09:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Dewi Nastiti Lestariningsih*

PERTAMA kali melihat cuplikan film ini, saya langsung tertarik dengan jalan ceritanya yang segar. Mungkin karena saya sudah jenuh dengan film humor yang dipaksakan ataupun film horor yang sering ambigu.

Jelang penghujung tahun ini, ternyata ada tayangan film bergenre drama yang ceritanya kental tentang keluarga. Tegar, merupakan film karya Anggi Frisca dengan penulisan skenario bersama Alim Sudio.

Film berdurasi 92 menit ini diperankan oleh aktor cilik yang merupakan penyandang disabilitas daksa, Muhammad Aldifi Tegar bersama aktris dan aktor kawakan, Sha Ine Febriyanti sebagai Ibu Tegar dan Dedy Mizwar sebagai Kakek Tegar.

Film ini mengangkat kehidupan Tegar yang terlahir sebagai penyandang disabilitas. Mungkin penonton menyangka akan disuguhi cerita yang melankolis karena kondisi disabilitas yang disandang Tegar. Ternyata sutradara membuat alur cerita berbeda, tidak mengasihani tokoh utama.

Perspektif inklusif

Keluarga Tegar di film tersebut digambarkan sangat berkecukupan. Rumahnya memiliki segudang fasilitas dan terlihat sangat megah bak istana, berlantai dua, dan memiliki kolam renang.

Sutradara sepertinya ingin mengedukasi penonton dengan menunjukkan lokasi yang menjadi sentral cerita sangat eksklusif, bangunan tinggi yang berada di atas bukit.

Namun sangat disayangkan, keluarga Tegar tidak memiliki tetangga di sekitarnya. Ibu Tegar digambarkan sebagai orangtua yang membentengi anaknya untuk bersosialisasi dengan sekitar.

Di film ini penonton akan diperlihatkan bentuk stigmatisasi. Ketika ulang tahun ke-10 Tegar dirayakan bersama Kakeknya, sang Kakek menanyakan permintaan Tegar, apa yang diinginkan cucunya dan sang cucu pun hanya bisa berucap bahwa dia hanya ingin sekolah.

Sang Kakek memahami keinginan cucunya dan mengabulkan permintaannya. Namun sayangnya, sang Ibu tidak menyukai keinginan anaknya.

Di masyarakat sendiri kejadian yang dialami Tegar masih banyak terjadi. Orangtua mengurung anak yang berpenyandang disabilitas di rumah dengan harapan anaknya tidak membuat malu keluarganya.

Dalam analisis makrostruktural pada model Fairclough bila kita merujuk analisis wacana kritis, konteks sosial di luar film seperti sistem budaya masyarakat setempat sangat memengaruhi sutradara dalam menggarap skenario.

Film ini merupakan representasi dari masyarakat yang masih menganggap tabu bila memiliki keluarga yang berpenyandang disabilitas karena takut dianggap sebagai aib.

Bila kita menengok ke belakang untuk melihat sejarah perjuangan Helen Keller sebagai penyandang tuli, buta, dan wicara untuk bisa menjadi manusia yang setara dengan yang lain, sangat didukung oleh peran serta keluarga.

Helen Keller tumbuh saat kondisi Perang Dunia II yang menyebabkan adanya diskriminasi terhadap perempuan, orang kulit hitam, dan juga penyandang disabilitas.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com