Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Tegar

PERTAMA kali melihat cuplikan film ini, saya langsung tertarik dengan jalan ceritanya yang segar. Mungkin karena saya sudah jenuh dengan film humor yang dipaksakan ataupun film horor yang sering ambigu.

Jelang penghujung tahun ini, ternyata ada tayangan film bergenre drama yang ceritanya kental tentang keluarga. Tegar, merupakan film karya Anggi Frisca dengan penulisan skenario bersama Alim Sudio.

Film berdurasi 92 menit ini diperankan oleh aktor cilik yang merupakan penyandang disabilitas daksa, Muhammad Aldifi Tegar bersama aktris dan aktor kawakan, Sha Ine Febriyanti sebagai Ibu Tegar dan Dedy Mizwar sebagai Kakek Tegar.

Film ini mengangkat kehidupan Tegar yang terlahir sebagai penyandang disabilitas. Mungkin penonton menyangka akan disuguhi cerita yang melankolis karena kondisi disabilitas yang disandang Tegar. Ternyata sutradara membuat alur cerita berbeda, tidak mengasihani tokoh utama.

Perspektif inklusif

Keluarga Tegar di film tersebut digambarkan sangat berkecukupan. Rumahnya memiliki segudang fasilitas dan terlihat sangat megah bak istana, berlantai dua, dan memiliki kolam renang.

Sutradara sepertinya ingin mengedukasi penonton dengan menunjukkan lokasi yang menjadi sentral cerita sangat eksklusif, bangunan tinggi yang berada di atas bukit.

Namun sangat disayangkan, keluarga Tegar tidak memiliki tetangga di sekitarnya. Ibu Tegar digambarkan sebagai orangtua yang membentengi anaknya untuk bersosialisasi dengan sekitar.

Di film ini penonton akan diperlihatkan bentuk stigmatisasi. Ketika ulang tahun ke-10 Tegar dirayakan bersama Kakeknya, sang Kakek menanyakan permintaan Tegar, apa yang diinginkan cucunya dan sang cucu pun hanya bisa berucap bahwa dia hanya ingin sekolah.

Sang Kakek memahami keinginan cucunya dan mengabulkan permintaannya. Namun sayangnya, sang Ibu tidak menyukai keinginan anaknya.

Di masyarakat sendiri kejadian yang dialami Tegar masih banyak terjadi. Orangtua mengurung anak yang berpenyandang disabilitas di rumah dengan harapan anaknya tidak membuat malu keluarganya.

Dalam analisis makrostruktural pada model Fairclough bila kita merujuk analisis wacana kritis, konteks sosial di luar film seperti sistem budaya masyarakat setempat sangat memengaruhi sutradara dalam menggarap skenario.

Film ini merupakan representasi dari masyarakat yang masih menganggap tabu bila memiliki keluarga yang berpenyandang disabilitas karena takut dianggap sebagai aib.

Bila kita menengok ke belakang untuk melihat sejarah perjuangan Helen Keller sebagai penyandang tuli, buta, dan wicara untuk bisa menjadi manusia yang setara dengan yang lain, sangat didukung oleh peran serta keluarga.

Helen Keller tumbuh saat kondisi Perang Dunia II yang menyebabkan adanya diskriminasi terhadap perempuan, orang kulit hitam, dan juga penyandang disabilitas.

Di tengah-tengah kondisi masyarakat yang negatif, Anna Sullivan, salah satu sosok yang membantu Hellen Keller untuk keluar dari ruang gelap yang bernama stigma dan dogma.

Dengan sentuhan harapan dan didikan yang keras dari Anna, Hellen Keller menjadi sosok yang berarti bagi penyandang disabilitas lainnya untuk bisa berdaya.

Pada film Tegar, sosok yang mengubah stigma adalah Kakek Tegar yang dengan tegas mengatakan pada Ibu Tegar bahwa Tegar berhak untuk punya cita-cita, berhak untuk punya impian, berhak untuk belajar mandiri meski Ibu Tegar berargumen bahwa selama ini dia bekerja hanya untuk memenuhi kebutuhan anaknya.

Di sini prinisip berdasarkan belas kasihan (based on charity) yang masih dianut Ibu Tegar yang beranggapan bahwa dengan harta dapat membuat anaknya bahagia.

Ternyata, Tegar tidak menemukan kebahagian. Tegar menemukan kebahagiaan bila dia dianggap sebagai manusia seperti lainnya, di sinilah prinsip kemanusian (human rights) yang menjadi akar dari perspektif inklusif.

Menjadi ‘Subjek’ bukan ‘Objek’

Film yang diproduksi Aksa Bumi Langit dan Citra Sinema ini tidak sebatas menghadirkan tontonan kehidupan penyandang disabilitas, namun dalam film ini juga turut melibatkan teman-teman disabilitas secara langsung dalam produksinya dengan mengedepankan prinsip SDGS, leave no-one behind.

Peran serta kru pembuat film yang berpenyandang disabilitas merupakan aksi nyata dari prinsip inklusif, bahwa mereka tidak sekadar dijadikan sebagai objek cerita, namun mereka turut terlibat dalam aktor pendukung, pengembang naskah, fotografer, penata artistik, dan lain-lain. Di sinilah praktik baik dari prinsip tidak ada yang tertinggal.

Akhirnya, saya sebagai penonton dapat mengatakan bahwa film Tegar merupakan upaya reduksi stigmatisasi terhadap penyandang disabilitas.

Dengan mengadopsi kalimat Kakek Tegar, “Berikan haknya sebagai manusia!”, kita bisa utuh menjadi seorang manusia.

*Periset bahasa, sastra, dan disabilitas di Pusat Riset Bahasa, Sastra, dan Komunitas, BRIN.

https://www.kompas.com/hype/read/2022/11/26/090000766/tegar

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke