Yakni, kepulangan mereka justru menjadikan konflik mereka dengan ayahnya makin menjadi-jadi. Bahkan konflik itu meluas. Pak Domu juga berkonflik dengan Bu Domu.
Sepintas memang seperti layaknya konflik keluarga pada umumnya. Atau konflik yang terjadi ketika orangtua yang digambarkan sebagai kolot memaksa anak-anaknya untuk mengikuti kekolotan itu.
Namun yang disajikan Ngeri-ngeri Sedap tidak sesederhana itu.
Dengan jitu film ini menggambarkan konflik yang terjadi ketika identitas budaya disikapi sebagai root. Sesuatu yang dianggap final, tanpa kompromi yang diyakini Pak Domu melawan anak-anaknya. Konflik yang seakan tidak berujung dan melelahkan.
Namun secara pelahan penonton kemudian dibawa pada kesadaran baru Pak Domu. Ia mencoba memahami anak-anaknya.
Di situ, oleh Pak Domu root disikapi sebagai self limiting – sesuatu yang tidak dengan sendirinya mencukupi -- ketika ia pakai untuk memahami problem dan aneka hal yang dihadapi anak-anaknya.
Dan ketika kesadaran baru itu datang, ketika itu pula Pak Domu menemukan route berdamai dengan anak-anaknya. Juga dengan isterinya.
Route damai yang kiranya tidak hanya milik Pak Domu di film Ngeri-ngeri Sedap, tetapi niscaya juga akan ditemukan oleh siapa pun, oleh komunitas dan budaya mana pun, ketika suatu identitas tidak hanya dimaknai sebagai root belaka.
*Dosen Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.