Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Untar untuk Indonesia
Akademisi

Platform akademisi Universitas Tarumanagara guna menyebarluaskan atau diseminasi hasil riset terkini kepada khalayak luas untuk membangun Indonesia yang lebih baik.

Identitas ala Film Ngeri-ngeri Sedap

Kompas.com - 23/11/2022, 08:50 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Life world, menurut Sinaga (2012) meliputi tradisi religius kultural, ingatan kolektif, bentuk-bentuk relasi, dan nilai-nilai solidaritas yang diwariskan. Inilah yg disebut “root” dari suatu identitas budaya.

Namun dalam banyak kesempatan, root saja tidaklah cukup. Apalagi dalam masyarakat multi etnis. Dalam masyarakat seperti itu yang lebih diperlukan adalah bagaimana root dapat berdialog di tataran publik.

Menurut Sinaga (2012), dialog itu hanya dimungkinkan jika root diakui sebagai sesuatu yang tidak dengan sendirinya memadai. Root dianggap sebagai self limiting. Ia adalah sesuatu yang terbatas.

Itu tidak berarti bahwa proses dialog root di ruang publik hanya akan terjadi jika root (yang dianggap terbatas) itu ditinggalkan.

Menurut Sinaga, dalam proses dialog itu, “tradisi-tradisi kolektif tidak lantas hilang, namun dipelihara secara internal melalui proses kritis dan reflektif”.

Jadi tahapannya, pertama adalah proses pengenalan kekhasan “root” suatu identitas. Setelah itu, melalui proses kritis/reflektif, maka “root” menjadi “route” (peta/arah/jalan) bagaimana suatu komunitas ketika berhadapan dengan problem sosialnya.

Proses itulah yg digambarkan secara menarik di film Ngeri-ngeri Sedap.

Alkisah diceritakan Pak Domu yang amat kecewa pada anak-anaknya. Anak-anak ini tidak hanya tidak mau pulang ke kampung halaman, tetapi oleh Pak Domu mereka juga dianggap sudah kehilangan identitasnya sebagai orang Batak.

Si sulung yang seharusnya meneruskan garis keturunan marga – menikah dengan sesama orang Batak – malah hendak kawin dengan perempuan Sunda.

Adiknya, Gabe, memilih berkarir sebagai komedian, sesuatu yang dianggap tidak umum bagi keluarga Batak.

Sementara si bungsu, Sahat, bukannya pulang dan merawat orangtuanya, seperti mestinya bakti anak bungsu pada orangtua dalam keluarga Batak, tetapi malah memilih menetap di Yogyakarta, tempat di mana ia menghabiskan masa kuliahnya.

Hanya Sarman, anak nomor dua, satu-satunya anak perempuan -- yang merawat dan tinggal dengan Bapak dan Ibu Domu.

Lalu Pak Domu ber-"siasat”. Siasat yang didukung Bu Domu yang membuat anak-anaknya akhirnya bersedia pulang untuk mengikuti upacara adat, Sulang-sulang Pahompu, di kampung halaman.

Namun apa yang terjadi?

Tidak hanya anak-anak terlihat tidak “in” dalam mengikuti upacara penting itu, tetapi ada yang lebih gawat dari itu.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com