Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Anas Syahrul Alimi
CEO Prambanan Jazz Festival

CEO Prambanan Jazz Festival dan Ketua Bidang Jaringan dan Pendidikan APMI (Asosiasi Promotor Musik Indonesia)

Cerita Cinta Itu Tak Pernah Berakhir

Kompas.com - 08/04/2022, 04:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SETIAP rembang petang di Prambanan Jazz Cafe adalah waktu melankoli. Terutama, jika berada di sebuah pojok istimewa yang sejak awal saya niat dan persemabahkan untuk Glenn Fredly.

Di pojok itu foto-foto monokrom Glenn yang sedang bekerja di atas panggung musik Indonesia tertata sedemikian rupa.

Melankoli itu muncul, terutama sekali, saat rembang tiba, dari pojok itu saya melihat semburat kuning kemerahan sambil menyesap dalam-dalam teguk terakhir cappucino dingin.

Di sini selalu merasa bahwa Glenn betul-betul masih ada, dekat, di sini, walau ia sudah pergi selamanya tepat hari ini, dua tahun silam.

Kini harus aku lewati
Sepi hariku
Tanpa dirimu lagi

Rembang dan sepi adalah dawai semesta yang saya temukan dalam diri Glenn. Juga, perlambangan spiritualitasnya.

Sebagai sahabat dalam buana musik Indonesia selama belasan tahun, rembang adalah saat terindah, saat termesra bagi pencinta, tapi sekaligus sepi.

Jarak waktu asar ke magrib adalah saat paling genting dalam waktu.

Ajaran leluhur meminta untuk tidak melakukan aktivitas yang ramai saat gelap tanah tiba, saat sinar terakhir matahari pamit.

Seperti halnya saya, Glenn juga percaya nubuat waktu. Semakin kita melawan waktu, semakin kita sakit.

Dalam gelombang waktu yang tak pernah berhenti itu, saya menemukan ikhtiar Glenn yang bersungguh-sungguh membangun fantasi musiknya yang bening, hasrat gerak sosialnya yang berhilir pada perdamaian dan kemanusiaan, serta kehangatan dalam persahabatan dengan sesama.

Biarkan kini ku berdiri
Melawan waktuku
Untuk melupakanmu
Walau sakit hatiku
Namun aku bertahan

Pemakaman penyanyi Glenn Fredly di TPU Tanah Kusir, Jakarta, Kamis (9/4/2020). Glenn dinyatakan mengidap meningitis sebelum mengembuskan napas terakhirnya.KOMPAS.COM/KRISTIANTO PURNOMO Pemakaman penyanyi Glenn Fredly di TPU Tanah Kusir, Jakarta, Kamis (9/4/2020). Glenn dinyatakan mengidap meningitis sebelum mengembuskan napas terakhirnya.

Seperti lirik lirih pada lagu “Akhir Cerita Cinta” itu, siapa sesungguhnya yang ingin dilupakan Glenn dan demi apa ia bertahan?

Biografi musik Glenn menunjukkan bahwa yang paling ia takutkan adalah kehabisan energi kreatif membangun kosmologi musik Indonesia.

Ia selalu bertanya-tanya bagaimana musik Indonesia bisa berkembang jauh melintasi teritori negerinya sendiri.

Dan, itu ia lakukan dengan melakukan pengembaraan ke Eropa mencari diri, membuka pikiran.

Ia belajar. Menyelesaikan teknik-teknik dasar apa saja yang harus diselesaikan oleh seorang penyanyi sebelum ia menaklukkan gebyar panggung dengan penonton yang dinamis dan tak terduga.

Apakah hanya menjadi pesohor dengan penggemar berjubel-jubel yang menjadi tujuan bermusik? Glenn selalu terganggu dengan tujuan, dengan pembelokan niat.

Dari penciptaan album ke album, ia selalu memeriksa sudahkah ia temukan jenis musiknya dan sudah benar langkah yang ia ambil.

Di panggung, ia seperti duduk dalam mihrab yang merefleksikan hakikat bermusik dengan bertanya, "Sandiwarakah selama ini setelah sekian lama kita telah bersama".

Glenn sangat sadar sandiwara lahir di atas panggung. Di atas panggung itu, semua bisa dimainkan, semua bisa dibolak-balikkan.

Bahkan, tak ada cinta dan teman di atas panggung sandiwara itu. Semua bisa tiba-tiba saling menusuk dalam sedih, semua tiba-tiba saling mencintai dalam alienasi.

Glenn sangat memengaruhi saya untuk tetap membangun panggung dan saya tetap di bawahnya menjaga tiang-tiang panggung itu tetap kuat terpacak di atas tanah karena kata Glenn, setiap orang punya tugas masing-masing dalam hidup.

Ada yang membangun panggung untuk menghidupkan api musik, tapi ada pula yang membangun panggung untuk membesarkan dirinya sendiri.

Selamanya saya tidak menaiki ratusan panggung yang telah saya buat karena panggung itu hanya buat mereka yang telah mendarmakan segala daya untuk berkarya di musik. Panggung buat insani yang terbaik.

Maka, nyaris seluruh panggung festival yang saya dirikan, selamanya ada nama Glenn Fredly dalam daftar line up.

Sebelum pandemi menggebuk penduduk bumi dan sebelum berucap "Selamat tinggal, kisah tak berujung/Kini ku 'kan berhenti berharap/Perpisahan kali ini untukku ...", Glenn tak pernah absen bersenandung di panggung Prambanan Jazz Festival, di hadapan rumah agung dari abad ke-9, Candi Prambanan.

Glenn tak hanya datang sebagai pengisi acara, tetapi juga datang sebagai sahabat.

Semua yang hatinya dekat secara personal dengan Glenn saat mendengarkan tiga baris pertama "Sekali Ini Saja" bakal termangu bahwa lirik itu dipersembahkan kepada siapa pun yang mengerti arti persahabatan, mengerti bagaimana "kita" tetap lebih indah dan magis dari "kami":

Bersamamu
Kulewati
Lebih dari seribu malam

Glenn Fredly tampil dalam Festival Mesin Waktu di Ji Expo Kemayoran, Jakarta, Sabtu (17/8/2019).KOMPAS.com/KRISTIANTO PURNOMO Glenn Fredly tampil dalam Festival Mesin Waktu di Ji Expo Kemayoran, Jakarta, Sabtu (17/8/2019).

Frase “seribu malam” yang dipilih Glenn adalah metafora waktu yang panjang dari ketiadaan cahaya besar, sesuatu yang sepi, lelangut, dan rentan.

Cinta maupun persahabatan yang sejati teruji dalam satuan “seribu malam”. Di sana, ketersisihan, perasaan amarah terus berbenturan secara terus-menerus dengan keberterimaan dan kasih yang putih.

Dalam “seribu malam” yang kerap berkelap-kelip dan terkadang juga temaram itu, Glenn memburu cinta personalnya, mempertanyakan diri, memutuskan, lalu bangkit dan mencari lagi.

Betapa melelahkannya pencarian cinta “seribu malam” itu di mana pada saat bersamaan Glenn selalu menantang dan menunjuk ke dirinya: apa saja yang telah ia berikan untuk musik Indonesia.

Saat Gus Dur berkata Indonesia tidak lagi bisa menyanyi di Ambon dan sedang menangis sendu tersedu, Glenn Fredly sangat terganggu.

Ambon, yang kemudian karena andilnya menjadi ibu kota musik Indonesia, disayat-sayat oleh perang saudara.

Ia terjun ke panggung hidup yang dilambari teriakan benci, acungan parang di antero kota. Ia bernyayi dan menegosiasikan lagi arti perdamaian yang hilang oleh agresi dan semangat untuk saling melenyapkan.

Di sana, Glenn menemukan lagi dirinya bahwa musisi adalah bagian dari masyarakat banyak, bukan manusia panggung yang selalu dielu-elukan di bawah siraman lampu elektrik ratusan watt.

Ia mestilah hadir dan bernilai saat masyarakat sedang sakit. Tidak ada musik dalam sebuah masyarakat yang sakit dengan satu bahasa, yakni bahasa kebencian.

Musik adalah pengharapan tentang kasih putih, menyatukan mereka yang datang ke arena festival atau konser dengan niat mendapatkan semangat baru, energi baru dari kepenatan akibat kerja harian yang membosankan.

Maka, panggung bagi Glenn merupakan ruang berbagi cerita dan pengalaman lewat bahasa musik.

Panggung tidak melulu soal transaksi ekonomi, soal kontrak manajemen, dan seterusnya. Ia lebih besar dari itu semua: pertemuan ribuan hati dan kepala di mana di sana seorang musisi bisa menjadi dirijen dan sekaligus psikolog yang baik.

Demikianlah, saat “Januari” dimainkan—dan selalu begitu—suasana menjadi begitu hening.

Masing-masing dari ribuan yang datang mendengar dan melihat bagaimana Glenn melafazkan lirik-lirik dalam “melodi rintihan” itu dengan napas yang berat dan suara yang bening.

Glenn seperti membangun cermin pada masing-masing hati dan pikiran pencinta musiknya.

Betapa, perbedaan bisa sangat menghancurkan manusia jika kita tidak tahu bagaimana mengelolanya; mula-mula menghabisi cinta antara dua manusia dan berkembang menghancurkan peradaban masyarakat dalam lingkup lebih luas.

Dengarkan lagi Glenn:

Kasihku...
Sampai disini kisah kita
Jangan tangisi keadaannya
Bukan karena kita berbeda

Dengarkan...
Dengarkan lagu... lagu ini
Melodi rintihan hati ini
Kisah kita
Berakhir di Januari

Di “Pojok Glenn” di Prambanan Jazz Café, saya selalu melihat Glenn tetap hidup. Jasadnya boleh lungkrah, berakhir, tapi suara bening warisannya yang abadi dan tertanam dalam semua teknologi rekam menjadikannya tetap hidup.

Glenn ingin Indonesia tetap bernyayi, musik Indonesia tetap punya daya. Dengan cinta.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com