Apa yang terjadi di drakor ini tentunya mematahkan anggapan bahwa film hanyalah produk industri hiburan.
Hiburan yang menurut Kayam (1981) adalah khas gejala masyarakat kota modern bermakna sesuatu yang sanggup melambungkan khalayak ke dunia yang merupakan alternatif dari dunia nyata yang mereka geluti sehari-hari.
Artinya, dengan film, khalayak penonton kemudian dimungkinkan untuk berkhayal, bermimpi ke dunia alternatif. Film jadinya tidak lebih sebagai media yang menyajikan dan menjanjikan impian-impian.
Impian yang ditawarkan di film bisa lewat macam-macam hal. Tidak saja ketampanan dan kecantikan artis-artisnya, tetapi juga pakaian, aksesori dan gaya hidup. Juga tema, jalan cerita plus ending-nya. Singkat cerita, apa pun yang berbeda atau bahkan tidak ada di keseharian.
Namun anggapan seperti itu tampaknya sudah tidak memadai lagi. Sebagaimana juga dicatat Kayam (1981), bahwa kebutuhan masyarakat kota berkembang. Mereka tidak melulu butuh impian. Mereka juga butuh sesuatu yang lain.
Selain itu, persaingan film sendiri dalam berebut khalayak juga makin ketat. Ini membuat tema film semakin variatif. Tak hanya impian yang disodorkan ke khalayak, tapi juga semakin banyak tema-tema keseharian diangkat ke film.
Di tengah banyaknya film yang mengangkat tema keseharian itulah belakangan muncul drakor yang menjadi fenomena di mana-mana.
Drakor yang juga dipakai untuk belajar menyikapi realitas keseharian, yakni sebagai terapi kesehatan mental.
Begitulah drakor. Dengannya, penonton tak hanya diperkenalkan dengan realitas, tapi juga diajak belajar bagaimana memelihara kesehatan mental.
Ninawati
Dosen Fakulas Psikologi Universitas Tarumanagara