Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kenapa Kita Emosi dan Takut Usai Menonton Layangan Putus?

Layangan Putus yang diproduksi oleh MD Entertainment dan tayang di WeTV sejak 26 November 2021 itu sukses masuk jajaran trending penayangan di 25 negara. Layangan Putus juga kerap kali masuk jajaran trending topic di Twitter setiap kali ditayangkan pada Jumat dan Sabtu.

Puncak konflik pada episode 6 ketika Kinan cekcok dengan Aris soal Cappadocia dan penthouse seharga Rp 5 miliar bahkan ramai dijadikan meme hingga diparodikan oleh kreator konten dan para selebritas.

Layangan Putus diadaptasi dari novel dengan judul sama karya Mommy ASF. Mulanya, kisah Layangan Putus sendiri hanya ditulis di Facebook namun ramai dibaca hingga viral.

Layangan Putus menceritakan kisah rumah tangga Aris (Reza Rahadian) dan Kinan (Putri Marino) yang diganggu oleh orang ketiga, Lydia Danira (Anya Geraldine).

Konflik yang terjadi dalam serial tersebut faktanya ikut membuat sebagian penonton merasa emosi bahkan akut berumah tangga, lebih tepatnya takut mendapatkan suami seperti Mas Aris yang tega mengkhianati istri dengan berselingkuh.

Hal itu juga dirasakan oleh Anya Geraldine selaku salah satu lakon utama di serial tersebut.

Lantas bagaimana hal itu bisa terjadi? Psikolog Anak dan Keluarga Astrid WEN menjelaskan cara kerja otak manusia ketika melihat tayangan yang mengundang emosi.

Media untuk menyalurkan emosi

Astrid mengatakan rasa parno yang muncul ketika mendengarkan lagu maupun menonton tayangan drama seperti Layangan putus lebih tepat dikatakan sebagai saluran emosi.

Lagu dan film yang dianggap mirip dengan kisah penikmatnya biasanya bisa membantu mereka mengeluarkan emosi yang secara tidak sadar terpendam dalam diri.

"Sebenarnya baik itu nyanyian atau baik film gitu ya itu kan sebenarnya sebuah ekspresi ya. Jadi itu juga sebuah media yang bisa dipakai untuk menyalurkan emosi kita," ucap Astrid kepada Kompas.com, Rabu (2/2/2022).

"Lagu atau film yang mirip dengan kisah kita itu dibantu diekspresikan oleh film tersebut. Ada suatu cerita, 'Oh saya bisa relate nih. Saya bisa seperti ikut merasakan karena saya pernah berada di tempat yang sama'. Jadi terkoneksinya berdasarkan pengalaman," sambungnya.

Kata Astrid, emosi manusia yang ada di dalam otak bisa diumpamakan sebagai gunung es. Emosi cenderung ditumpuk menggunung tapi hanya sedikit yang ditampakkan.

Oleh sebab itu ketika manusia dipancing dengan konten lagu atau film bermuatan emosi tinggi yang intens, maka ada risiko besar terbawa emosi.

"Jadi tuh muatan emosinya cukup intens, sehingga kita sebagai penonton memiliki risiko bahwa kita terbawa emosi. Mau kita pintar, misalnya orangnya berpendidikan atau misal juga kita orangnya cerdas, tetapi ketika kita menonton sesuatu dengan muatan emosi yang intens yang tidak kita sadari, itu bukan menyasar pada otak logika kita tetapi itu menyasar pada otak emosi kita," ucapnya.

"Otak emosi kita yang mungkin belum kita sadari bahwa pengaruhnya lebih kuat daripada otak logika itu akan membawa dampak kita jadi terbawa ya ke dalam film tersebut dan akhirnya kita jadi kayak mungkin memihak, kemudian juga jadi punya bahan diskusi sama teman," imbuh Astrid.

Ketika otak emosi menguasai diri

Dalam kasus Layangan Putus, Reza Rahadian ramai dihujat karena perannya sebagai Aris, suami tukang selingkuh. Reza sendiri mengakui bahwa peran tersebut membuatnya merasakan pengalaman buruk saat liburan di pantai.

Kondisi tersebut bisa terjadi karena penonton masih terbawa emosi pada Reza Rahadian di Layangan Putus sehingga mereka lupa bahwa Reza bukan hanya memerankan karakter tukang selingkuh tapi dia juga pernah memerankan karakter Presiden RI ke-3 Habibie dalam film Habibie & Ainun.

"Itu kan masih terbawa emosi ya, kita logika enggak di kedepankan ya. Jadi akhirnya kita ya lupa tuh kalau Reza adalah Pak Habibie di film sebelumnya. Kita ingatnya ya Reza yang saat ini ya si tokoh yang menyelingkuhi. Jadi Reza menjadi simbol lah ya, simbol pelaku perselingkuhan," ucap Astrid.

"Kalau kita bergerak dengan otak emosi, kadang-kadang kita enggak melihat siapa orangnya, kita enggak melihat masuk akalnya," sambungnya.

Rasa takut sebagai evaluasi untuk mengenali diri sendiri

Selalu ada alasan mengapa manusia tiba-tiba memiliki perasaan takut. Ketika penonton merasa takut menikah setelah melihat Layangan Putus, ada alasan lain mengapa ketakutan itu bisa muncul. Ini lah waktunya manusia mengenali lebih dalam soal dirinya sendiri.

"Kalau biasanya habis menonton kita jadi punya perasaan takut, 'aduh aku takut,' jadi pertanyaan yang selanjutnya seharusnya kita ngecek, 'kenapa ya saya takut?' gitu," kata Astrid.

Rasa takut soal pernikahan bisa disebabkan oleh banyak hal dalam diri manusia itu sendiri. Entah karena tidak percaya diri dalam memilih pasangan atau karena tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang hal itu.

"Kalau kayak gitu diselami lagi kan apa yang membuat saya tidak percaya, ternyata ada trauma mungkin, mungkin ya, atau ternyata belum dilengkapi oleh pengetahuan. Kalau parno tapi belum ada pengalaman kan terus apa yang bikin parno? Gitu kan berarti memang harus tanyakan ke diri sendiri apa yang kita takutkan," kata dia.

https://www.kompas.com/hype/read/2022/02/02/135147166/kenapa-kita-emosi-dan-takut-usai-menonton-layangan-putus

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke