Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Dokter AS yang Tak Bisa Lupakan Kengerian di Gaza

Kompas.com - 04/05/2024, 10:19 WIB
BBC News Indonesia,
Irawan Sapto Adhi

Tim Redaksi

Namun sebelum berangkat Sam dan rekan-rekannya mengisi surat-surat yang diperlukan untuk memindahkan Jenna. Prosesnya akan memakan waktu berhari-hari tetapi mereka akan memastikan dokumennya sampai ke kantor yang tepat.

Ketika Sam pergi untuk berbicara dengan ibu Jenna, ibu-ibu lain memperhatikan.

“Ruangannya terbuka dan digunakan bersama, mungkin ada 10 pasien dalam satu ruangan. Jadi ketika semua ibu lain melihat saya berbicara dengannya, mereka semua mengerumuni saya.”

Jenna dipindahkan dan sekarang dirawat di rumah sakit Korps Medis Internasional dekat Rafah.

Menurut perkiraan PBB bulan lalu, mayoritas korban tewas dalam perang tersebut adalah perempuan dan anak-anak: 13.000 anak-anak, 9.000 perempuan.

Perang kini memasuki bulan ketujuh.

Baca juga: Kesaksian Perempuan yang Disandera 54 Hari di Gaza: Bunuh Saja Saya Secepatnya

Negosiasi untuk gencatan senjata dan pembebasan sandera terhenti.

Setiap siang dan malam, korban luka dan kekurangan gizi tiba di beberapa rumah sakit yang masih berfungsi.

WHO mengatakan hanya 10 dari 36 rumah sakit di Gaza yang masih berfungsi.

Bepergian di Gaza bisa sangat berbahaya bagi pekerja kemanusiaan. Seperti kematian tujuh pekerja kemanusiaan, termasuk tiga warga Inggris, ketika militer Israel menyerang konvoi mereka dengan serangan rudal pada tanggal 1 April.

Sam juga menggambarkan antrean berjam-jam di pos pemeriksaan Israel.

“Kami sering menunggu satu hingga empat jam tergantung berapa lama waktu yang dibutuhkan Israel untuk menyetujui jalur tersebut karena mereka sedang melakukan operasi militer,” katanya.

Dokter berwarga negara AS ini berharap adanya upaya terpadu untuk memberikan lebih banyak bantuan ke wilayah utara Gaza.

“Wilayah utara memerlukan lebih banyak akses, lebih banyak makanan, lebih banyak bahan bakar, lebih banyak air, jalan-jalan perlu dibuka… Dan ada begitu banyak pasien yang perlu dievakuasi dari utara ke selatan dan masalahnya wilayah selatan juga sibuk. Maksud saya, rumah sakit di sini meledak," jelas Sam Attar.

Sam mengaku akan kembali. Segera, demikian harapannya.

Ada ikatan persahabatan yang memanggilnya untuk kembali ke Gaza.

Paramedis Nabil, yang Sam lihat setiap hari, membawa korban luka untuk berobat, hingga akhirnya dia sendiri menjadi korban dan harus ditarik dari reruntuhan oleh rekan-rekannya. Dia masih hidup tetapi tidak akan bisa meninggalkan Gaza.

Lalu ada seorang dokter yang putrinya terbunuh namun dia bermurah hati untuk menghibur seorang ibu yang putranya masih balita menderita cedera otak akibat pecahan bom.

Dan, ada pasien dan keluarga mereka yang melihat dokter, perawat dan paramedis bukan hanya mencari kemungkinan bantuan kesehatan praktis, namun juga sorotan kesopanan manusia di tempat yang penuh teror dan kerusakan.

Mereka adalah orang-orang yang ada dalam benak Sam Attar. Mereka semua.

Laporan tambahan oleh Alice Doyard, Annie Duncanson, Haneen Abdeen, dan Nik Millard

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com