Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ronny P Sasmita
Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution

Penikmat kopi yang nyambi jadi Pengamat Ekonomi

Di Mana Persoalannya, Nuklir Iran atau Nuklir Israel?

Kompas.com - 25/05/2022, 06:45 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

ISRAEL sangat serius dengan perkembangan nuklir Iran. Negara yang satu ini selalu mencari cara agar Iran gagal memiliki senjata nuklir dan akan menggunakan segala cara untuk mencapai tujuan tersebut.

Masalahnya, ketegangan soal perkembangan nuklir Iran bukanlah perkara tunggal yang berdiri sendiri, tapi justru repetisi dari ketegangan kepemilikan reaktor nuklir Israel yang sudah berawal sejak tahun 1948-an.

Karena itu, bagaimanapun caranya, Israel akan habis-habisan berjuang agar menjadi negara satu-satunya di Timur Tengah yang memiliki "leverage" berupa senjata nuklir.

Leverage persenjataan yang dimiliki oleh Amerika di akhir perang dunia kedua setelah suksesnya Manhattan Project memang memicu Uni Soviet, Inggris, Perancis, dan China, untuk memiliki senjata yang sama.

Tapi lebih dari itu, impresi yang sama diterima oleh Israel, yang secara geografis dan geopolitik berada di bawah bayang-bayang Hollocoust kedua dari dunia Arab, yang kemudian diikuti oleh Irak pada akhir tahun 1970 dan Suriah tahun 2000-an.

Sementara di luar Timur Tengah, setelah China berhasil memiliki senjata nuklir berkat sokongan Moskow, India merasa terancam, yang memicu India juga membangunnya.

Tapi karena India memiliki nuklir, maka Pakistan terancam, lalu melakukan hal yang sama. Chain reaction, sampai-sampai sekelas Korea Utara mengikutinya.

Reaktor Nuklir Irak dihajar oleh operasi rahasia Israel tahun 1981, bernama Operasi Opera. Sementara reaktor nuklir Suriah tahun 2007 juga dilibas oleh tujuh pesawat tempur F15 Israel dalam sebuah operasi rahasia.

Praktis dengan teparnya dua reaktor nuklir di dua negara Timur Tengah, Irak dan Syiria, maka hanya Israel satu-satunya yang tersisa.

Leverage militer itulah yang ingin dijaga oleh Israel, dengan selalu menentang proyek nuklir Iran yang sudah dimulai sejak Amerika menginvasi Irak. Lokasi utamanya ada di Dimona, Israel Selatan.

Cerita bermula jauh hari ke belakang. Ben Gurion, setelah mendeklarasikan kedaulatan dan kemerdekaan negara Israel tahun 1948, menilai bahwa bagaimanapun ceritanya, Israel harus memiliki leverage militer yang akan menjadi pertimbangan utama bagi negara-negara tetangganya untuk tidak lagi menyerang Israel.

Tapi di luar dugaan, ternyata gurun Negev tak memiliki uranium. Jadi Israel, suka tak suka, harus menemukan mitra strategis dengan perjanjian di bawah meja untuk membangun reaktor nuklir negara baru tersebut.

Peluang pertama muncul di konvensi PBB tahun 1955, di mana topik soal atom positif diangkat, yakni penggunaan energi atom untuk kepentingan sipil, yakni listrik.

Negosiasi dengan Amerika dilakukan. Amerika bersedia membangun reaktor nuklir untuk kepentingan sipil di Israel.

Tapi sayang, reaktor yang dibangun Amerika untuk Israel tak mampu menghasilkan plutonium, karena kapasitasnya sangat kecil. Israel gigit jari.

Ben Gurion dan Simon Peres berembuk. Hasilnya, Israel harus bernegosiasi dengan Perancis, yang juga sedang menjalankan project militer serupa (Perancis juga negara yang membangunkan reaktor nuklir untuk Saddam Hussein).

Kata sepakat didapat. Israel dan Perancis membangun reaktor nuklir di daerah Dimona, Israel Selatan.

Bangunan beton delapan lantai dibangun. Dua lantai ke atas, enam lantai tersembunyi di bawah tanah. Perancis menyediakan teknologi dan SDM yang diperlukan di lokasi reaktor.

Tanpa disadari, bangunan tersebut masuk ke dalam radar Amerika. Pesawat intai Paman Sam memantau perkembangan di Dimona, sekaligus perkembangan pembangunan reaktor nuklir Marcoule di Perancis.

Untuk memperjelas informasi, CIA melakukan pengintaian langsung ke Dimona, via agen yang menyamar menjadi turis.

Hasilnya positif. Amerika menemukan aktifitas mencurigakan di Dimona, di mana di sekitar lokasi reaktor ditinggali oleh para agen Mossad dan para tenaga ahli dari Perancis.

Eisenhower sempat memberi peringatan kepada Isreal untuk tidak bermain-main dengan senjata nuklir.

Lalu di era Kennedy, Israel terpojok. Kennedy mengetahui banyak soal reaktor di Dimona dan memaksa Israel agar bersedia diinspeksi.

Akhirnya Israel menawar. Jika tak boleh memiliki nuklir, bagaimana Israel bisa melidungi diri. Maka Amerika memberikan tomhawk antiaircraft alias misil antipesawat ke Isreal.

Di sisi lain, Gamal Abdul Nasser juga sedang onfire di Mesir. Gamal dekat dengan Soviet dan sedang merencanakan serangan ke tanah Israel dengan narasi liberasi Palestina.

Tahun 1957, Nasser menasionalisasi secara sepihak Terusan Sues, sembari menutup akses laut ke Israel, yang mengundang kemarahan Inggris dan Perancis.

Kemudian, kesepatakan rahasia terjadi antara Inggris, Perancis, dan Israel, untuk melakukan pembalasan pada Mesir.

Kedua negara Eropa tersebut mengirim pasukan untuk mengambil kembali terusan Suez. Di sisi lain, Israel juga mengirim pasukan ke Sinai.

Tapi Amerika berhasil mendorong dewan keamanan PBB untuk terlibat sembari mengancam Inggris yang sedang krisis likuiditas tidak dapat mengakses dollar dari IMF, lalu mengirim pasukan perdamaiaan internasional untuk mengamankan lokasi netral di antara kedua belah pihak.

Maka krisis Suez mereda. Inilah titik kuliminasi berakhirnya "hegemoni British Empire".

Setelah itu, karena peran Inggris mulai dikikis Amerika, Inggris mulai ikut membantu Israel secara diam-diam, mengikuti Perancis. Inggris bersedia menyuplai uranium dan Perancis membangun instalasi reaktornya.

Jadi di saat Israel berkilah ke Amerika akan menghentikan proyek nuklirnya, diam-diam Israel terus membereskannya atas supply uranium dari Inggris dan teknologi dari Perancis.

Selain Amerika, Soviet juga mengetahui bahwa Israel sedang membangun reaktor nuklir di Dimona. Karena itu, Soviet juga mempunyai rencana dengan Nasser.

Menurut Soviet, untuk membuktikan kepemilikan itu, hanya ada satu cara, yakni mengirim pesawat jet ke daerah Dimona, pesawat Rusia yang dicat pakai simbol Mesir.

Kemudian diam-diam setelah itu Soviet juga mengirim pesawat bombernya untuk berjaga-jaga.

Kalau Israel memilikinya, maka Israel akan menjatuhkan pesawat itu, lalu menyerang Mesir dengan misil berkepala nuklir karena Mesir dianggap memulai perang terlebih dahulu.

Jika itu terjadi, maka Soviet akan melakukan pembalasan, retaliation, pembalasan dengan serangan nuklir yang lebih besar menggunakan pesawat bomber yang sudah siap sedia tadi.

Yang tidak diketahui Soviet adalah bahwa Israel telah dipersenjatai oleh Amerika dengan Tomhawk Antiaircraft.

Maka misil antiaircraft itulah yang menyerang pesawat Soviet. Tapi Israel tidak menyerang Mesir dengan senjata nuklir, justru dengan serangan udara cepat.

Dan itulah yang menjadi sebab di belakang layar lahirnya "Six Days War" tahun 1967, di mana Israel melakukan serangan preemtive strike ke markas angkatan udara Mesir, Suriah, dan Jordan, yang terlihat sedang bersiap-siap melakukan serangan ke Israel setelah pancingan Soviet.

Maka rontoklah semua pesawat tempur ketiga negara tetangga Israel itu dan Soviet tak sempat melakukan pembalasan, karena bomber yang disiapkan untuk melakukan pembalasan, baru saja sempat landing di Mesir dari Soviet, tapi ikut terkena hajar oleh bom Israel.

Salah satu pilotnya yang selamat bernama Hosni Mubarak. Serangan ini mengubah peta Israel-Palestina secara drastis, di mana Jerusalem, Sinai, Westbank, jatuh ke tangan Israel dan perbatasan dengan Suriah melebar.

Tak pelak, Israel mendadak mengantongi "leverage" (keunggulan) kekuatan udara pasca "Six Days War 1967" dibanding negara-negara Timur Tengah lainya.

Selain itu, Soviet juga memantau bahwa ternyata salah satu kapal induk Amerika sedang stand by di Laut Mediterania, dengan tiga pesawat bomber yang juga dipersenjatai misil berkepala nuklir.

Amerika ternyata juga sudah siap, jika sampai Rusia menyerang Israel, maka Amerika akan langsung menjatuhkan bom nuklir ke tiga lokasi sekaligus, yakni Kairo, Moskow, dan Beijing, karena Lyndon Jhonson berkeyakinan, China akan mengambil manfaat jika Amerika ribut dengan Soviet.

Inilah era krusial di mana dunia nyaris mengalami perang nuklir, setelah beberapa tahun sebelumnya krisis Kuba yang juga sempat memancing kiamat.

Di saat Nixon jadi presiden dan Golda Meir jadi PM Israel, Amerika akhirnya memberikan ijin kepada Israel untuk memiliki nuklir, tapi dengan kesepakatan gentlement agreement alias "tau sama tau."

Israel tak boleh mengekspose senjata nuklirnya, Amerika pun pura-pura tak mengetahui kalau Israel memiliki Nuklir.

Itulah tahun Amerika dan Israel benar-benar serius beralliansi strategis. Dan kepemilikan nuklir itu di luar radar lembaga international alias tak pernah bisa diinspeksi sampai hari ini.

Jadi dalam posisi inilah Iran saat ini. Israel sudah menyiapkan serangan rahasia ke reaktor nuklir Iran sejak lama, tapi Israel belum yakin dengan sikap Rusia dan China.

Putin dan Xi sedang mesra-mesranya dengan Iran. Posisi Iran mirip dengan posisi Israel dulu.

Israel nyaris disikat Soviet, tapi karena ada Amarika, Soviet berpikir ulang untuk terlibat di Six Days War.

Kini, jika reaktor Iran disikat Israel, Putin sangat berpeluang turun tangan, mungkin juga China.

Sudah sejak bertahun-tahun lalu Moskow (Putin) mengingatkan Israel, jangan coba-coba ulang operasi rahasia yang sama ke Iran, jika tak ingin menerima pembalasan berat.

Karena itu Israel melakukan operasi kecil-kecil, cyber attack atau membunuh ahli nuklir Iran. Dan di sinilah kunciannya hari ini.

Beberapa tahun ke depan, jika tak menghasilkan konflik besar, maka reaktor Iran akan "establihed."

Iran akan jadi negara pertama setelah Israel yang memilikinya di Timur tengah, setelah punya Suriah dan Irak hancur.

Apa risikonya? Risikonya, semua negara Islam suni akan ikut perlombaan. Saudi akan membangun juga karena merasa terancam oleh Iran, Emirat akan mentransformasi reaktor nuklir sipilnya, lalu Sudan, Mesir, dan seterusnya.

Ketegangan itu akan membawa Amerika, Rusia, dan China ke pusaran konflik. Di saat itulah kiamat sejengkal lagi di depan mata.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com