Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Memahami Alasan Serius di Balik Bangkrutnya Sri Lanka

Kompas.com - 14/04/2022, 19:15 WIB
Tito Hilmawan Reditya

Penulis

Sumber

KOLOMBO, KOMPAS.com - Sri Lanka sedang menghadapi krisis yang membuat pemerintah gagal membayar utang luar negerinya.

Beberapa pihak menyalahkan China atas hal ini. Negeri Tirai Bambu itu disebut-sebut berperan memicu krisis.

Tapi, benarkah begitu?

Baca juga: Devisa Ludes, Sri Lanka Gagal Bayar Seluruh Utang Luar Negeri Senilai Rp 732 Triliun

Profesor Ekonomi Tata Institute of Social Sciences R Ramakumar, dalam analisisnya di The Conversation, mencoba menelaah hal ini.

Pasca kemerdekaan dari Inggris pada tahun 1948, pertanian Sri Lanka didominasi oleh tanaman yang berorientasi ekspor seperti teh, kopi, karet, dan rempah-rempah.

Sebagian besar produk domestik brutonya berasal dari devisa yang diperoleh dari mengekspor tanaman ini. Uang itu digunakan untuk mengimpor bahan makanan penting.

Selama bertahun-tahun, negara ini juga mulai mengekspor garmen, dan mendapatkan devisa dari pariwisata dan pengiriman uang.

Setiap penurunan ekspor akan datang sebagai kejutan ekonomi dan menempatkan cadangan devisa di bawah tekanan.

Baca juga: Negara Bangkrut, Sri Lanka Minta Perantau Kirim Uang untuk Dibelikan Makanan

Karena alasan ini, Sri Lanka sering mengalami krisis neraca pembayaran. Sejak tahun 1965 dan seterusnya, ia memperoleh 16 pinjaman dari Dana Moneter Internasional (IMF).

Masing-masing pinjaman ini datang dengan persyaratan, termasuk bahwa setelah Sri Lanka menerima pinjaman mereka harus mengurangi defisit anggaran mereka, dan mempertahankan kebijakan moneter yang ketat.

Sri Lanka juga wajib memotong subsidi pemerintah untuk makanan bagi rakyat Sri Lanka, juga depresiasi mata uang sehingga ekspor akan menjadi lebih layak.

Tapi biasanya dalam periode kemerosotan ekonomi, kebijakan fiskal yang baik membuat pemerintah harus menghabiskan lebih banyak untuk menyuntikkan stimulus ke dalam perekonomian.

Tapi hal ini tidak mungkin mengingat kondisi saat itu. Terlepas dari situasi itu, pinjaman IMF terus datang, dan ekonomi yang terkepung menyerap lebih banyak utang.

Baca juga: Sri Lanka Bangkrut, Perdana Menteri Minta Rakyatnya yang Marah untuk Sabar

Pinjaman IMF terakhir ke Sri Lanka adalah pada tahun 2016. Negara tersebut menerima 1,5 miliar dollar AS selama tiga tahun dari 2016 hingga 2019.

Kondisinya sudah biasa, tapi kesehatan ekonomi menurun selama periode ini. Pertumbuhan, investasi, tabungan dan pendapatan turun, sementara beban utang meningkat.

Situasi berubah menjadi lebih buruk dengan dua guncangan ekonomi pada tahun 2019.

Pertama, serangkaian ledakan bom di gereja dan hotel mewah di Kolombo pada April 2019. Ledakan tersebut menyebabkan penurunan tajam dalam kedatangan wisatawan dan menguras cadangan devisa.

Kedua, pemerintahan baru di bawah Presiden Gotabaya Rajapaksa memotong pajak secara tidak rasional.

Baca juga: Sri Lanka Gagal Bayar Utang, Indonesia Masih Aman Bu Sri Mulyani?

Tarif pajak pertambahan nilai dipotong dari 15% menjadi 8 persen. Pajak tidak langsung lainnya seperti pajak pembangunan negara, pajak bayar sesuai pendapatan, dan biaya layanan ekonomi dihapuskan.

Tarif pajak perusahaan diturunkan dari 28 persen menjadi 24 persen. Sekitar 2 persen dari produk domestik bruto hilang dalam pendapatan karena pemotongan pajak ini.

Pada Maret 2020, pandemi Covid-19 melanda. Pada April 2021, pemerintah Rajapaksa kembali melakukan kesalahan fatal.

Untuk mencegah terkurasnya cadangan devisa, semua impor pupuk dilarang sama sekali. Sri Lanka dinyatakan sebagai negara pertanian organik 100 persen.

Kebijakan yang ditarik pada November 2021 ini, menyebabkan penurunan drastis dalam produksi pertanian dan lebih banyak impor diperlukan.

Baca juga: Sri Lanka Gagal Bayar Utang dan Bangkrut, Akan Krisis Selama Berbulan-bulan

Tapi cadangan devisa tetap di bawah tekanan. Turunnya produktivitas teh dan karet karena larangan pupuk juga menyebabkan pendapatan ekspor yang lebih rendah.

Karena pendapatan ekspor yang lebih rendah, ada lebih sedikit uang yang tersedia untuk mengimpor makanan dan kelangkaan makanan pun muncul.

Karena ada lebih sedikit makanan dan barang-barang lain untuk dibeli, tetapi tidak ada penurunan permintaan, harga barang-barang ini naik. Pada Februari 2022, inflasi naik menjadi 17,5 persen.

Baca juga: Awal Mula Krisis Sri Lanka: Gagal Bayar Utang, Bangkrut, hingga Darurat Nasional

Selanjutnya, kemungkinan besar Sri Lanka akan mendapatkan pinjaman IMF ke-17 untuk mengatasi krisis saat ini, yang akan datang dengan kondisi baru.

Kebijakan fiskal deflasi akan diikuti, yang selanjutnya akan membatasi prospek kebangkitan ekonomi dan memperburuk penderitaan rakyat Sri Lanka.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com