Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Putu Agung Nara Indra Prima Satya
Dosen Univeristas Katolik Parahyangan

Dosen Prodi Hubungan Internasional, Univeritas Katolik Parahyangan.

Akankah Perang Dunia Ketiga Terjadi Setelah Invasi Rusia ke Ukraina?

Kompas.com - 25/02/2022, 12:08 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

INVASI oleh Rusia ke Ukraina adalah puncak ketegangan yang sudah mencuat sejak paruh akhir 2021 lalu.

Pada Desember 2021, Rusia mengejutkan publik dengan memobilisasi pasukannya di perbatasan dengan Ukraina.

Langkah ini merupakan manuver terbesar yang dilakukan oleh Rusia setelah terlibat dalam aneksasi wilayah Krimea tahun 2014.

Ketika serangan itu akhirnya terjadi pada 24 Februari 2022, kita wajib melihat kembali kronologi kejadian yang mengawali serangan ini untuk melihat bangunan konflik secara lebih luas.

Kronologi serangan Rusia ke Ukraina

Langkah yang diambil Rusia pada Desember 2021, serentak memicu respons dari para rivalnya.

Pada Januari 2022, Ukraina mendapatkan bantuan senjata dari Amerika Serikat dan negara-negara NATO sebagai antisipasi jika Rusia menyerang (Reuters, 2022).

Tindakan ini langsung dibalas telak oleh Rusia dengan mengadakan latihan militer di Belarusia, sekutu terdekat Rusia sekaligus tetangga terdekat Ukraina pada 10 Februari 2022.

Empat hari kemudian, Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy tidak mau kalah dengan menyatakan bahwa negaranya akan tetap melanjutkan pembentukan aliansi militer dengan NATO di tengah-tengah ancaman Rusia.

Bulan Februari sungguh merupakan bulan yang “panas” bagi Rusia dan Ukraina.

Pada 21 Februari 2022, tepat seminggu setelah pernyataan keras dari Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy, Vladimir Putin menegaskan nyalinya dengan mengakui kedaulatan dua wilayah Ukraina yang pro-Rusia, yaitu Donetsk dan Luhansk.

Pada hari yang sama, Putin mulai mengirimkan pasukan untuk ‘mengamankan’ kedua wilayah tersebut.

Tak mau kalah gertak, Amerika Serikat (AS) dan para sekutunya bereaksi dengan mengumumkan serangkaian sanksi ekonomi keras terhadap Rusia pada 22 Februari 2022.

Putin agaknya tidak ambil pusing dengan sanksi tersebut. Apalagi, China sebagai mitra dekat Rusia saat ini menyatakan siap membantu untuk meringankan efek dari sanksi ekonomi AS dan sekutunya.

Pihak Ukraina nampaknya menangkap sinyal-sinyal ini dengan menetapkan kondisi darurat (state of emergency) di seluruh penjuru negara pada 23 Februari.

Pada hari yang sama, kelompok separatis di Donetsk dan Luhansk meminta pertolongan Putin atas ancaman dari militer Ukraina.

Puncaknya, pada tanggal 24 Februari 2022, Rusia resmi memulai kampanye militernya di Ukraina.

Eskalasi konflik di Ukraina

Dari kronologi tersebut, kita dapat melihat bahwa invasi Rusia ke Ukraina merupakan puncak dari piramida ketegangan yang ditandai oleh serangkaian tindakan berbalasan (counter measures) antara Rusia, Ukraina, AS (beserta NATO dan sekutu-sekutu lainnya), serta China.

Dalam situasi ini, masing-masing pihak berupaya untuk menandingi ancaman dan gertakan dari lawannya dengan skala yang kurang lebih sama.

Pertanyaan selanjutnya mengemuka: apakah eskalasi konflik ini masih akan meningkat, bahkan hingga mencapai level Perang Dunia Ketiga?

Potensi menuju skenario terburuk ini tentu saja ada. Banyak pihak khawatir bahwa penyerangan ke Ukraina yang merupakan puncak dari piramida sebelumnya, akan menjadi pondasi bagi piramida ketegangan baru yang berakhir pada Perang Dunia Ketiga.

Namun, sebelum sampai pada kesimpulan tersebut, kita harus melihatnya dalam konteks pendekatan eskalasi konflik.

Eskalasi menurut Louis Kriesberg, seorang akademisi bidang konflik internasional, merupakan sebuah kondisi di mana perilaku konflik bergerak ke dalam skala lebih besar.

Selanjutnya, menurut Ho Won-Jeong, terdapat beberapa variabel yang dapat dijadikan penanda dari terjadinya eskalasi konflik.

Variabel-variabel tersebut di antaranya adalah pertukaran tindakan paksaan (coercive exchanges) di antara aktor-aktor yang terlibat, putusnya kerja sama dan komunikasi, polarisasi hubungan dan pembentukan aliansi untuk memisahkan ‘lawan’ dan ‘kawan’, serta bertambahnya jumlah pihak-pihak yang berkonflik.

Variabel-variabel di atas sebagian besar sudah terjadi dalam konteks konflik di Ukraina saat ini.

Serbuan Rusia telah membuka keran kekerasan dan perang di Ukraina. Hal ini sekaligus menghalangi pintu komunikasi khususnya antara Rusia, Ukraina, AS, dan negara-negara Uni Eropa.

Akhirnya, mereka terjebak dalam situasi ketidakpercayaan (distrust) tingkat akut. Namun, apabila konflik ini akan memicu Perang Dunia Ketiga, maka dibutuhkan eskalasi yang jauh lebih besar lagi.

Untuk itu, kita wajib belajar dari beberapa pola yang terjadi pada dua Perang Dunia sebelumnya.

Melihat eskalasi Perang Dunia

Satu pola yang terjadi secara konsisten dalam Perang Dunia Pertama dan Kedua adalah pembentukan aliansi militer sebelum bentrokan terjadi.

Kita mengenal adanya Blok Sekutu untuk menyebut AS dan kawan-kawannya serta Blok Poros untuk menyebut Jerman dan kelompoknya.

Bahkan, beberapa ahli sejarah internasional berpendapat bahwa pembentukan aliansi inilah yang sebenarnya memicu pecahnya Perang Dunia Pertama dan Kedua.

Pembentukan aliansi militer dalam situasi penuh ketegangan merupakan langkah yang dianggap rasional oleh negara-negara di dunia.

Alasannya, situasi ketegangan memaksa negara untuk menjamin keamanannya dengan cara apapun.

Satu hal yang luput dari perkiraan negara-negara di masa Perang Dunia adalah munculnya aliansi ini justru semakin meningkatkan rasa tidak aman di antara negara-negara di dunia.

Akibat munculnya aliansi, mereka mulai bertanya-tanya, kapan blok musuh mereka akan menyerang ketika aliansinya sudah siap secara militer.

Ketika akhirnya serangan itu muncul, mereka juga melakukan pembalasan yang tak kalah kerasnya dibandingkan lawannya.

Akhirnya, negara-negara ini terjebak ke dalam lingkaran kekerasan yang membesar hingga ke skala global.

Saat ini, persaingan antar aliansi militer di dunia internasional relatif belum setegang pada masa Perang Dunia.

Amerika Serikat dan negara-negara Barat memang memiliki NATO sebagai ancaman utama bagi Rusia.

Di sisi lain, Rusia belum bisa mengembalikan aliansi militer ala Pakta Warsawa ketika masa Perang Dingin yang lalu.

Sebagian negara yang dahulunya masuk Pakta Warsawa, termasuk Ukraina, berhasil digoda oleh AS untuk bergabung dengan NATO.

Namun, peristiwa yang terjadi pada awal Olimpiade Musim Dingin Beijing 2022 cukup membuat dunia terkejut.

Saat itu, Presiden Putin dan Presiden Xi Jinping dari China mengumumkan “kerja sama tanpa batas” antara kedua negara ini.

Hal yang paling menarik adalah keduanya siap mendukung klaim masing-masing negara atas wilayah Ukraina dan Taiwan.

Meskipun manuver ini cukup mengejutkan, tetapi kita belum paham betul karakteristik dari kerja sama ini.

Apakah kerja sama ini hanyalah bersifat normatif atau kedua negara sudah siap untuk berkolaborasi secara militer dalam konteks aliansi.

Menariknya, bertepatan dengan invasi Rusia ke Ukraina, China juga dilaporkan meningkatkan aktivitasnya di wilayah udara Taiwan.

Sebelumnya, pada tanggal 23 Januari 2022, Reuters melaporkan bahwa terdapat 39 pesawat China telah mendekati wilayah pertahanan udara Taiwan.

Apabila China terus meningkatkan agresivitasnya terhadap Taiwan dan berujung kepada serbuan seperti yang dilakukan Rusia ke Ukraina, maka pintu menuju Perang Dunia Ketiga telah terbuka.

Kembali kepada pendekatan eskalasi konflik, salah satu hal yang membawa konflik merembet ke skala yang lebih luas adalah bertambahnya pihak-pihak yang terlibat ke dalam perang.

Hal ini sangat berbahaya karena masing-masing pihak ini dipastikan memiliki motivasinya masing-masing ke dalam peperangan.

Berkaca dari sejarah, motivasi-motivasi sepihak inilah yang akhirnya membawa peperangan ke dalam skala yang katastrofik.

Dapat kita lihat saat Italia memutuskan membuka front peperangan baru ke Afrika bagian Utara dalam Perang Dunia Kedua.

Italia melakukan ini bahkan tanpa berkoordinasi dengan sekutunya Jerman, karena berambisi menaklukkan teritori tersebut demi kepentingannya sendiri.

Pada Perang Dunia Pertama, hal sama dilakukan oleh Inggris yang membuka front peperangan di Timur Tengah demi mengamankan berbagai kepentingannya di wilayah ini.

Selain itu, jika kita menilik ke definisi dasar dari Perang Dunia, situasi ini tidak akan terjadi jika tidak ada negara yang nekat membuka front peperangan baru di luar wilayah Eropa.

Gejala yang sama bisa saja terjadi kepada pihak-pihak seperti AS, Uni Eropa, dan China dalam peristiwa di Ukraina ini.

Rusia telah secara resmi menembakkan meriam pertama dalam konflik bersenjata di wilayah ini.

Hari-hari ke depan ini sangatlah penting bagi kita untuk melihat negara mana yang ikut menembakkan meriamnya ke tengah-tengah konflik ini.

Jika kekuatan-kekuatan besar di dunia tergiur untuk melakukannya, maka kita telah terjebak ke dalam lingkaran ekskalasi konflik yang bisa saja mengantarkan kita ke pintu Perang Dunia Ketiga.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com