Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Belajar Kesederhanaan dari Pemimpin di Negeri Singa

Kekuatan ekonomi per kapita Singapura lebih dari 10 kali lipat Indonesia. Produk domestik bruto (PDB) kita 4.000 dolar AS. Sementara, Singapura 60.000 dolar AS.

Negara yang tenar akan merlion atau singa lautnya itu terus menjadi tujuan investasi primadona di Asia. Arus masuk bersih investasi asing langsungnya (net inflow of foreign direct investment) mencapai 26,7 persen (2021). Sebagai pembanding, Malaysia 4,99 persen dan Indonesia 1,78 persen.

Tradisi kesederhanaan

Terlepas dari capaian di atas, para pemimpin Singapura senantiasa tampil sederhana, bahkan sejak pendirian negara ini. Pada masa awal kemerdekaan Singapura di 1960-an, mendiang bapak bangsanya, Lee Kuan Yew (LKY), lebih sering memilih penerbangan kelas ekonomi, bahkan untuk menghadiri Konferensi Negara Persemakmuran (Commonwealth Conference).

Dia ingin menunjukkan kepada publik, inilah yang pada waktu itu bisa dicapai oleh ekonomi Singapura. Alhasil, kepercayaan masyarakat dan rekan-rekan internasional pada Singapura terbangun kokoh.

Di dalam negeri, masyarakat bersedia melakukan hal-hal yang sulit (doing tough things) untuk membantu kemajuan Singapura. Sebagai contoh, diawali tentangan sengit dari publik, kebijakan mewajibkan Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar pendidikan akhirnya diterima dengan baik di sana. Kualitas pendidikan mereka pun kini menjadi salah satu yang terbaik di dunia.

Di luar negeri, sempat diremehkan, termasuk oleh Indonesia di awal kemerdekaannya, Singapura dengan kesederhanaan pemimpinnya berhasil mendapat simpati, dukungan, dan kepercayaan dari negara besar seperti Inggris, Amerika, dan Tiongkok.

Singapura kini jadi rujukan global dalam berbagai kebijakan seperti pendidikan, ekonomi, militer, dan hubungan internasional. Ekonominya menjadi magnet dunia, di mana banyak perusahaan teknologi dan finansial global membangun salah satu kantor pusatnya di sana, misalnya, Google dan Citi.

Kesederhanaan pemimpin Singapura nyatanya menjadi tradisi yang mengakar dan turun temurun. Di berbagai acara publik, termasuk debat di parlemen, para pemimpin Singapura selalu tampil sederhana.

Di salah satu thread Twitter yang sempat viral, dibahas berbagai jam tangan yang dipakai perdana menteri (PM) Singapura (setara presiden di Indonesia) dan jajarannya. Hampir semua mengenakan jam tangan sederhana.

Satu waktu, dalam sebuah debat penting, PM Lee mengenakan kemeja pink longgar sederhana, jauh dari kesan mewah. Ia bahkan tak peduli publik melihat bagian ketiaknya basah. Santai saja dan perdebatan terus dilanjutkan.

Kesederhanaan pemimpin Singapura tentu disertai komitmen tinggi pada berbagai aspek penyelenggaraan negara: proses politik berbasis meritokrasi, efektivitas pembuatan kebijakan, dan penegakan hukum yang tak pandang bulu.

Hasilnya, hingga hari ini Singapura terus menjadi salah satu negara paling bebas korupsi dan tempat paling mudah menjalankan bisnis. Di dunia, Singapura ranking 5 dalam Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index - CPI, 2022) dan ranking 2 dalam Kemudahan Menjalankan Bisnis (Ease of Doing Business - EoDB, 2020).

Rasa-rasanya, menjadi pemimpin atau pejabat erat dengan atmosfer harus pamer kemewahan. Misalnya punya rumah ini, tanah di situ, mobil ini, jam tangan itu, tas mewah merek ini dan itu.

Kurangnya kesederhanaan para pimpinan negara tersebut, berkaca dari Singapura, jelas menjadi satu hambatan besar bagi kemajuan Indonesia. Alih-alih sebagai refleksi kondisi riil masyarakat, sebagian oknum pemimpin ini malah jadi akar ketidakpercayaan publik pada negara beserta kebijakan-kebijakannya.

Masih jauh dari Singapura, CPI Indonesia berada pada ranking 110 (2022), dan EoDB-nya ranking 73 (2020). Kondisi ini tentu merefleksikan kurang efektifnya pelaksanaan berbagai kebijakan.

Reformasi atau pengurangan subsidi BBM, misalnya. Kebijakan ini penting untuk keberlanjutan pembangunan sebab dana subsidi tersebut telah jauh melampaui belanja kesehatan, atau bahkan pertahanan. Namun karena melihat kemewahan para pejabat, rakyat pun enggan mendukungnya, sebab tak percaya bahwa pengurangan subsidi BBM ini benar-benar dijalankan dengan amanah.

Meski demikian, jelas, Singapura bukan Indonesia. Penduduknya saja tak lebih dari 5 persen populasi Indonesia. Akan tetapi, strategi pembangunan ala Negeri Singa telah beberapa dekade terakhir ini diadopsi oleh Tiongkok yang penduduknya sekitar empat kali lipat Indonesia.

Dengan dinamikanya, negeri Tirai Bambu ini kini melesat pada rel kemajuan ekonominya. Berbagai pemimpin Tiongkok senantiasa tampil sederhana dan fokus bekerja membangun negaranya.

Kita telah punya beberapa teladan termasuk Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden (2014-2019) Jusuf Kalla. Mereka, misalnya, senantiasa mengenakan pakaian dan sepatu bermerek lokal.

Beberapa kebijakan yang diinisasi mereka pun sukses, seperti pembangunan Tol Jawa dan transformasi penggunaan minyak tanah ke gas elpiji. Namun gerak gelombang budaya kesederhanaan ini belum efektif.

Kejadian baru-baru ini perlu jadi momentum: kesederhanaan pemimpin perlu makin digaungkan dan dibudayakan di Indonesia. Kinerja pemimpin itu ukurannya bukan kemewahan tetapi efektivitas kebijakan-kebijakannya. 

https://www.kompas.com/global/read/2023/04/13/094608170/belajar-kesederhanaan-dari-pemimpin-di-negeri-singa

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke