Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Memaknai Normalisasi Hubungan Diplomatik Arab Saudi dan Iran

Kesepakatan pemulihan hubungan diplomatik antara Arab Saudi yang berbasis ideologi Sunni dan Iran dengan ideologi Syiah tersebut dicapai dari pertemuan kedua belah pihak yang berlangsung di Ibu Kota RRC, Beijing atas inisiasi China.

Iran diwakili oleh Ali Shamkhani, Sekretaris Dewan Keamanan Nasional Tertinggi Iran, bertemu dengan penasihat keamanan nasional Kerajaan Arab Saudi, Musaad bin Mohammed al-Aiban, yang dimediasi oleh Wang Yi, diplomat paling senior di China.

Riyadh memutuskan hubungan diplomatik dengan Teheran pada tahun 2016 setelah barisan pengunjuk rasa menyerbu pos diplomatik Arab Saudi di Iran karena Arab Saudi mengeksekusi seorang cendekiawan Muslim yang juga ulama Syiah terkemuka, Nimr Al Nimr, beberapa hari sebelumnya.

Bagi China, sebagaimana yang disampaikan Wang Yi, peran yang dimainkan China dalam memediasi ketegangan Iran dan Arab Saudi adalah bagian dari tanggung jawab China sebagai negara besar, sebuah framing yang sangat berguna bagi China untuk memproyeksikan diri sebagai negara Great Power, bahkan Super Power.

Sementara itu, Gedung Putih melalui juru bicaranya, John Kirby, mengatakan bahwa Amerika Serikat memang tidak terlibat langsung dalam proses negosiasi normalisasi hubungan diplomatik tersebut. Namun Gedung Putih telah mendapat notifikasi terlebih dahulu dari Riyadh perihal rencana mediasi tersebut.

Dan yang tidak kalah menarik, Israel melalui Perdana Menteri yang baru, Benjamin Netanyahu, memberikan reaksi yang cukup menarik.

Netanyahu sangat menginginkan normalisasi hubungan diplomatik dengan Arab Saudi segera. Hal tersebut sangat bisa dipahami karena Israel berharap kepentingannya akan termaktub di dalam point-point follow up normalisasi hubungan diplomatik Arab Saudi dan Iran.

Banyak yang mengasumsikan bahwa mediasi yang dilakukan China memiliki arti destruktif untuk Amerika Serikat, yang selama ini telah mengambil peran besar di Timur Tengah.

Bahkan beberapa di antaranya menilai bahwa peran Amerika Serikat di level global sedang disubjugasi oleh China.

Secara umum, boleh jadi bermakna demikian. China boleh jadi memang sedang merasa melakukan sebuah terobosan yang mempermalukan Amerika Serikat.

Namun dalam hemat saya, meskipun Amerika Serikat absen dalam proses normalisasi tersebut, kepentingan negara Paman Sam telah termaktub di dalamnya di satu sisi dan keputusan Arab Saudi untuk "jump" ke dalam proses yang diinisiasi China tersebut telah dikoordinasikan dengan baik dengan Amerika Serikat.

Pada kunjungan Presiden Joe Biden ke Arab Saudi beberapa bulan lalu, meskipun diwarnai oleh ketegangan atas isu hak asasi manusia dan keengganan Arab Saudi menolak untuk mengutuk Rusia atas invasinya ke Ukraina, tetap telah menghasilkan kesamaan visi.

Joe Biden meminta Arab Saudi untuk mengambil langkah yang bisa mendeeskalasi ketegangan di Timur Tengah dan Mohammed bin Salman Al Saud (MBS) mengamininya ketika itu.

Jadi dalam kacamata ini, langkah Arab Saudi untuk sepakat datang ke Beijing atas nama normalisasi hubungan diplomatik dengan Iran adalah sekuensi dari kesamaan visi dengan Joe Biden terkait dengan kepentingan deeskalasi situasi di kawasan Timur Tengah, walaupun mediatornya adalah China.

Langkah Arab Saudi adalah atas nama praktikalitas dan pragmatisme untuk mendeeskalasi situasi di Timur Tengah, karena Iran berkemungkinan besar akan sulit diajak ke meja perundingan jika dimediasi oleh Amerika Serikat.

Artinya, China adalah pilihan terbaik bagi Iran dan Arab Saudi, karena China memiliki hubungan yang sangat baik dengan keduanya.

Di sisi lain, meskipun Gedung Putih terkesan agak sinis, kepentingan Amerika Serikat terkait dengan upaya deeskalasi situasi di Timur Tengah diyakini akan tercapai, meskipun mediatornya adalah China.

Yang jelas, Arab Saudi akan mengajukan syarat-syarat yang tidak jauh berbeda dengan syarat yang diminta oleh Amerika Serikat selama ini.

Kemungkinan besar, selain permintaan untuk mengurangi peran Iran pada pemberontak Houti di Yaman, Arab Saudi akan sangat berpotensi untuk meminta Iran membuka peluang perundingan baru atas perkara nuklir Iran.

Selain Israel, UAE atau Amerika Serikat, Arab Saudi adalah negara yang paling khawatir dan paling terancam dengan perkembangan pengayaan senjata nuklir Iran.

Artinya, meskipun dimediasi oleh China dan kredit poin akan beralih ke Beijing, secara taktikal kepentingan Amerika Serikat juga sudah termaktub di dalam kesepakatan tersebut karena adanya kesamaan kepentingan antara Arab Saudi dengan Amerika Serikat, terutama terkait dengan aspek geopolitik dan pertahanan di kawasan Timur Tengah.

Lebih dari itu, yang kurang dipahami oleh banyak pihak, adalah bahwa peningkatan peran China di Timur Tengah bukan hanya atas keinginan dan kepentingan China, tapi juga Amerika Serikat.

Sudah sejak lama Amerika Serikat menginginkan China untuk memainkan peran besar di Timur Tengah.

Selama ini, Amerika Serikat menilai bahwa kontribusi China dalam menjaga stabilitas di Timur Tengah sangat kecil, berbanding terbalik dengan kepentingan ekonomi China yang sangat besar di Timur Tengah, terutama terkait dengan komoditas minyak.

Bahkan Amerika Serikat sempat melabeli China sebagai free rider di Timur Tengah, karena menikmati keuntungan ekonomi di bawah stabilitas kawasan yang diperjuangkan oleh Amerika Serikat.

Jadi lagi-lagi, langkah China sebenarnya adalah langkah yang diharapkan oleh Amerika Serikat juga, karena akan memberi Amerika Serikat ruang untuk pelan-pelan semakin fokus ke wilayah Asia Pasifik.

Apalagi, jika normalisasi hubungan diplomatik Iran dan Arab Saudi bisa memperbesar peluang Iran untuk menghentikan pengayaan senjata nuklir, maka Iran akan kembali ke logika JCPOA, di mana China pun ada di dalamnya ketika itu bersama dengan Rusia.

JCPOA (Joint Comprehensive Plan of Action) - Rencana Aksi Komprehensif Bersama
juga dikenal dengan sebutan kesepakatan nuklir Iran, adalah perjanjian mengenai program nuklir Iran yang disepakati di kota Wina pada 14 Juli 2015 oleh Iran, P5+1, dan Uni Eropa.

Sementara itu, bagi China, peran ini adalah keharusan. Bukan saja atas nama narasi "negara besar" atau narasi "mensubjugasi peran Amerika Serikat" di Timur Tengah, tapi peran yang dimainkan oleh China sudah selayaknya demikian mengingat semakin besarnya kepentingan China di Timur Tengah.

Bukan saja soal pemenuhan kebutuhan minyak dari Timur Tengah, tapi juga masa depan proyek-proyek Road and Belt Initiative di Timur Tengah sangat bergantung pada adanya stabilitas di kawasan tersebut.

Dengan kata lain, China memang memiliki kepentingan ekonomi sangat besar di kedua negara.

China menjadi alternatif satu-satunya bagi Iran untuk membuat perekonomian negaranya tetap bisa bernafas dan bertahan atas gempuran embargo demi embargo yang diterapkan oleh Amerika Serikat dan aliansinya.

Sementara, bagi Arab Saudi, China adalah opsi masuk akal untuk melakukan "balancing" atas Amerika Serikat, di saat Arab Saudi dan Amerika Serikat mengalami perbedaan kepentingan.

Pendeknya, Iran, Arab Saudi, dan China ada dalam frame "mutual simbiotic" yang memang bisa mendatangkan stabilitas di kawasan tersebut.

Dan normalisasi hubungan diplomatik antara Iran dan Arab Saudi adalah salah satu upaya ke arah itu. China tentu tidak salah memetik sebanyak-banyaknya kredit poin atas upaya inisiasi tersebut.

Namun tidak bisa dipungkiri bahwa semua itu ternyata berjalan di rel yang justru sangat diinginkan oleh Amerika Serikat, karena stabilitas kawasan Timur Tengah dihasilkan dengan "cost" yang sama sekali tidak mahal bagi negara Paman Sam.

Jadi sangat bisa dipahami kemudian mengapa Amerika Serikat tidak terlalu reaktif menanggapi perkembangan tersebut.

https://www.kompas.com/global/read/2023/03/13/054500770/memaknai-normalisasi-hubungan-diplomatik-arab-saudi-dan-iran

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke