Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Di Bawah “Apartheid” ala Taliban: Sebelumnya Saya Polisi Wanita, Sekarang Saya Mengemis di Jalan

KABUL, KOMPAS.com - Satu tahun yang lalu, Taliban mengambil alih Afghanistan di tengah kekacauan penarikan pasukan AS dan Inggris.

Sekarang kehidupan perempuan di seluruh negeri berubah drastis, dengan hak-hak dan kebebasan mereka dilucuti.

Perintah Taliban menolak pendidikan perempuan, memecat wanita dari pekerjaan mereka dan memaksa mereka terkurung di bawah “apartheid gender”.

Kepada Rukhshana Media, wanita di seluruh negeri itu pun menceritakan pengalaman hidup mereka setelah satu tahun pengambilalihan Taliban di Afghanistan.

Nafkah yang dirampas

Sampai Taliban mengambil alih kekuasaan, Maryam bekerja sebagai polisi. Suaminya telah meninggal, jadi dialah pencari nafkah utama untuk menghidupi kedua putrinya.

“Tadinya, saya dapat memenuhi butuhkan mereka. Sekarang saya kehilangan pekerjaan. Taliban memburu wanita yang bekerja di dinas keamanan. Saya masih takut mereka akan menemukan saya,” ujarnya sebagaimana dilansir Guardian pada Minggu (14/8/2022).

Selama tujuh bulan terakhir, dia terpaksa mengemis di jalanan untuk memberi makan anak perempuannya. Dia duduk sepanjang hari di jalan, ditutupi burqa sehingga tidak ada yang mengenalinya.

Suatu hari, dua anak laki-laki melemparkan beberapa koin ke arahnya. Salah satunya mengatakan dia adalah seorang pelacur.

“Saya pulang hanya dengan uang yang cukup untuk membeli dua potong roti untuk anak-anak saya, dan menangis sepanjang malam.” “Saya tak lagi mengenal jati diri saya.”

Sama halnya dengan Maryam, Khatera seorang seniman dari Herat juga telah terampas mata pencahariannya.

Sebelumnya, dia menginvestasikan lebih dari separuh hidupnya sebagai pembuat ukiran dan desain kayu tradisional. Sebagai satu-satunya pengukir wanita di wilayahnya, dia telah menciptakan lebih dari 1.000 karya seni.

Tapi sejak Taliban berkuasa, mereka membuat seni menjadi pekerjaan yang berbahaya, dan menjadi seorang seniman wanita bahkan lebih berbahaya lagi.

“Taliban mengatakan saya dapat melanjutkan ukiran saya, tetapi saya tahu itu tidak mungkin. Saya menyensor diri sendiri karena saya tidak merasa aman.”

Dia telah melelang sebagian besar peralatannya. Pelanggannya dari Iran justru menyuruhnya pindah ke Iran, di mana pekerjaannya akan dihargai.

Hilangnya pakaian warna-warni

Samana dari Kabul kini tak lagi mampu menatap pakaian warna-warni di lemarinya, apa lagi memakainya. “Itu mengingatkan saya pada semua yang telah hilang.”

Dia jatuh dalam depresi yang mendalam, setelah insiden dramatis ketika dia sedang berjalan pulang sendirian.

Di gang yang sepi, dua anggota Taliban bersenjata menghampirinya. “Mereka meneriaki saya pelacur karena saya ‘terbuka’, dan menuntut jawaban mengapa saya tidak mengenakan jilbab.”

Anggota Taliban itu mengarahkan senjata mereka ke wajah Samana, salah satu dari mereka mengarahkan jarinya ke pelatuk. Wanita itu pun hanya mampu menundukan kepala dan berkata: "Itu tidak akan terjadi lagi."

Sesampainya di rumah, wanita asal Kabul itu terduduk dan menangis selama satu jam. “Saya berkata pada diri sendiri: ini adalah peringatan untuk apa yang akan terjadi selanjutnya.”

Pengalaman serupa dialami Zahra di Kabul barat. Setelah perintah Taliban mengumumkan pengumuman wajib ketentuan berpakaian tertutup untuk wanita, dia ditangkap.

“Meskipun saya tidak berniat mengikuti perintah mereka, saya meminta maaf (saat itu) dan berpikir mereka akan membiarkan saya pergi.”

Tetapi ternyata hukumannya lebih dari itu. Taliban mendatangi rumahnya, memperingatkan keluarganya bahwa jika wanita Afghanistan itu ditemukan “tak tertutup” di depan umum, maka dia akan ditahan.

“Sejak itu, ayah saya jarang mengizinkan saya atau saudara perempuan saya meninggalkan rumah, dan mengatakan kami tidak bisa kuliah. Bahkan saudara-saudara saya sekarang tahu apa yang saya pakai dan ke mana saya pergi setiap saat.”

Akses sempit ke pendidikan

Pemerintah Taliban masih melarang remaja wanita Afghanistan kembali ke bangku sekolah. Sementara mereka yang sudah sampai di bangku perguruan tinggi, mendapat akses yang terbatas, dengan kelas khusus wanita dengan pengajar wanita dan kelas pria dengan pengajar pria.

Sabira di provinsi Bamiyan masih beruntung bisa kembali masuk ke Universitas. Dia tidak dipaksa memakai hijab hitam di kampus, tapi di dalam lingkungan pendidikan itu pun wanita selalu diawasi.

“Ada pemberitahuan hijab di pintu dan dinding. Saya tidak pernah membayangkan bahwa suatu hari di Bamyan, semua mahasiswa akan dipaksa hidup seperti ini. Saya tidak percaya kehidupan berubah di sini.”

Kondisinya masih lebih beruntung dari Mah Liqa, yang lokasinya harus dirahasiakan demi keamanannya. Wanita Afghanistan berusia 14 tahun itu mengaku depresi karena sama sekali tidak diizinkan pergi ke sekolah.

“Tetapi saya terus mengatakan pada diri sendiri bahwa saya harus terus maju untuk masa depan yang lebih baik dan untuk impian saya,” katanya sebagaimana dilansir Guardian.

Liqa masih berusaha mencari cara untuk bisa terus belajar, meskipun ada larangan bagi anak perempuan untuk pergi ke sekolah. Sekarang, dia belajar bahasa Inggris di rumah setiap hari agar bisa mengajukan beasiswa untuk belajar ilmu komputer di luar negeri suatu hari nanti.

“Saya masih berusaha untuk mencapai sesuatu untuk diri saya sendiri.”

Ketakutan konstan di tengah pembantaian

Sejak Taliban mengambil alih, keamanan telah memburuk di Afghanistan dengan ancaman dari militan ISIS yang meningkat.

Abassi dari Kabul barat menceritakan bagaimana perjalannya ke tempat kerja berubah menjadi insiden berdarah, setelah bom meledak di bus yang ditumpanginya.

“Teman saya dan saya sedang mengobrol di bus tiba-tiba dunia di sekitar kami meledak. Kami menemukan diri kami di tengah pembantaian,” ujarnya menambahkan dia mendapat luka di kaki dan dada sementara temannya mengalami luka pada kaki kanannya.

“Setelah Taliban mengambil alih, segalanya menjadi sulit, tetapi saya melanjutkan pekerjaan saya dan bertekad hidup dengan berani. Sekarang, setelah serangan itu, saya hidup dalam ketakutan yang konstan. Rasa sakit dari luka saya sangat menyiksa.”

Abassi telah menjalani lima operasi dan tidak bisa pergi ke kamar mandi atau berpakaian sendiri tanpa bantuan. Tapi luka psikologisnya juga dalam.

“Saya harus melewati tempat ledakan bom untuk sampai ke janji dokter saya, dan setiap kali saya merasakan kendaraan bergetar, panasnya ledakan dan suara orang berteriak. Itu terus berulang dan berulang di depan mata saya ketika saya mencoba untuk tidur.”

https://www.kompas.com/global/read/2022/08/15/230151970/di-bawah-apartheid-ala-taliban-sebelumnya-saya-polisi-wanita-sekarang

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke