Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Bank Dunia: Transisi ke Green Economy Sangat Mahal, Indonesia Sulit Biayai Sendiri

JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor-Leste Satu Kahkonen mengatakan transisi ke “green economy” (ekonomi hijau) bisa sangat mahal, dan pemerintah Indonesia mungkin tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk membiayai seluruh proses sendiri. Oleh karena itu, pendanaan eksternal dinilai sangat penting.

“Tanpa pendanaan eksternal transisi (ekonomi hijau) akan memakan waktu yang lama,” kata Kahkonen dalam forum "Sweden-Indonesia Sustainability Partnership Week" (SISP Week) yang dilangsungkan dari Jakarta dan Stockholm pada Senin (22/11/2021).

Institusi internasional seperti Bank Dunia disebut bisa membantu masalah ini, tapi kemampuannya juga terbatas. Dengan demikian keterlibatan sektor investasi dan finansial privat dinilai sangat penting untuk bekerja sama dalam proses ini.

“Juga (kerja sama) bilateral. Transisi ini memerlukan semua pihak,” tegasnya.

Namun itu pun kata dia, tidak mudah untuk didapatkan, karena sektor privat akan enggan mendukung jika prosesnya terlalu sulit atau terlalu mahal.

Adapun menurutnya, omnibus law saja tidak cukup menarik bagi sektor swasta. Pemerintah juga diharapkan bisa memperhatikan hambatan regulasi untuk mendorong masuknya investor dan transfer teknologi, seperti kebijakan harga dan subsidi, hambatan non-tarif, serta rencana instrumen penetapan harga karbon.

Bank dunia sendiri secara substansial memperluas dan mengembangkan bantuan finansial untuk adaptasi ke sektor terbarukan. Ada juga bantuan teknis dan kebijakan untuk menciptakan lingkungan yang menarik bagi investor untuk datang dan berinvestasi.

“Salah satunya, kami telah mendukung konservasi di Kalimantan Timur dan Jambi, serta program restorasi mangrove pemerintah,” terangnya.

Kahkonen mengapresiasi sejumlah langkah yang telah dilakukan pemerintah Indonesia untuk “menghijaukan ekonomi”, misalnya melalui moratorium pembangkit listrik tenaga batu bara (PLTU) dan komitmen menutup semua PLTU hingga 2050, dan secara bertahap meningkatkan tenaga listrik terbarukan pada 2030.

“Bersama dengan itu ada juga rencana untuk transportasi hijau dan rencana ambisius untuk mencapai “net carbon neutrality” pada 2030. Pemerintah (Indonesia) juga memperkenal “carbon pricing instrument”, dan semua itu sangat baik dan pasti akan mulai menghijaukan ekonomi,” kata dia.

Sementara itu menurutnya, komunitas internasional bisa membantu mempercepat implementasi dari semua rencana ambisius tersebut. Cara dengan bantuan teknis, saran kebijakan, dan transfer teknologi dan keuangan.

“Melihat pengalaman global termasuk Swedia dan pelajaran dari negara lain di dunia membantu mempercepat transisi sehingga Indonesia dapat melompat lebih jauh (menuju ekonomi hijau),” ujar Direktur Bank Dunia di Indonesia, Satu Kahkonen.

Pekerjaan yang bisa dilakukan Indonesia sekarang

Implementasi dari rencana pemerintah Indonesia menuju ekonomi yang ramah lingkungan akan membutuhkan transisi ke “green jobs”. Untuk itu, Indonesia bisa melakukan tiga tindakan sekarang guna menyiapkan tenaga kerja menuju ekonomi hijau.

Pertama, Indonesia bisa mulai melatih tenaga kerja saat ini dan masa depan, dengan keahlian yang diperlukan dalam green jobs. Artinya perlu dukungan dalam konten di sistem pendidikan formal.

Kedua, Indonesia sekarang bisa mulai mengembangkan sistem informasi pasar tenaga kerja yang lebih canggih yang secara dapat cepat mengidentifikasi permintaan pasar dan tenaga kerja yang tersedia.

Ketiga, Indonesia bisa memulai menumbuhkan kebijakan ramah lingkungan sesuai dengan pengalaman di tingkat internasional, yang dapat memfasilitasi green jobs.

Sektor potensial

Pemulihan pandemi Indonesia menurutnya, memberikan peluang untuk pembangunan kembali yang ramah lingkungan, salah satunya melalui adopsi kebijakan yang lebih ramah lingkungan sehingga juga menghasilkan lapangan kerja hijau atau “green jobs”.

“Ini penting karen green jobs lebih baik dan memberikan bayaran yang lebih banyak,” kata Direktur Bank Dunia di Indonesia, Satu Kahkonen.

Kahkonen juga mengungkap sejumlah potensi terbaik penciptaan lapangan kerja yang ada di Indonesia.

Pertama “direct green jobs”: pekerjaan yang mendedikasikan 50 persen dari pekerjaannya untuk teknologi ramah lingkungan atau yang mengharuskan keahlian spesifik terkait lingkungan.

Pihaknya menganalisis lowongan pekerjaan di Indonesia secara online dan hasilnya menunjukkan sudah ada permintaan yang besar akan pekerja dengan keahlian tinggi terkait “green skills”. Contohnya biodiesel, pengolahan air, pengolahan limbah, kontrol kualitas, teknik lingkungan, teknik kelistrikan hingga konservasi energi.

“Belum banyak pekerjaan yang memenuhi kriteria itu di Indonesia. Bahkan di negara maju umumnya total 10 persen dari total lapangan kerja. Tapi itu akan berubah dengan cepat seiring dengan inisiatif rendah karbon dunia,” ungkapnya.

Sektor kedua adalah “indirect green jobs”: jenis pekerjaan menghasilkan layanan yang ramah lingkungan namun tidak secara spesifik menuntut “green skills” dari pekerjanya.

Belum ada data spesifik terkait jenis pekerjaan ini di Indonesia. Namun di Amerika Serikat jenis “indirect green jobs” dilaporkan telah mencapai 20 persen. Adapun berdasarkan tren data global jenis pekerjaan ini diyakini akan berkembang di sektor energi hijau, manufaktur, transportasi dan pariwisata.

Ketiga yang berpotensi dikembangkan menjadi “green jobs” adalah lapangan kerja yang semula masuk kriteria “brown jobs”, seperti pekerjaan di sektor pertambangan batu bara.

https://www.kompas.com/global/read/2021/11/22/195027570/bank-dunia-transisi-ke-green-economy-sangat-mahal-indonesia-sulit-biayai

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke