Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

"Lampu Jalan di Desa Kami Ditenagai Listrik dari Biogas" (Bagian 1)

Namun, sinar matahari yang perlahan menghilang mulai tergantikan pendar putih dari lampu penerangan jalan di depan masing-masing rumah. Di sepanjang jalan yang menanjak, lampu-lampu itu menyala menerangi kegelapan malam.

“Dari sini sampai ke atas (barat) dan utara ada 30 lampu yang listriknya bersumber dari biogas,” kata Supomo, Ketua Desa Mandiri Energi (DME) Desa Gedangan, membuka percakapan dengan Kompas.com, Selasa (19/10/2021). DME Desa Gedangan adalah kelompok yang menggalakkan transisi dan kemandirian energi berbasis energi terbarukan, terutama dari biogas, di Desa Gedangan.

Supomo mengatakan, lampu-lampu tersebut masing-masing memiliki daya antara 12 watt hingga 18 watt. Ke-30 lampu yang terpasang itu seluruhnya dialiri listrik yang bersumber dari pembangkit listrik tenaga biogas (PLTBg).

PLTBg yang digunakan merupakan hasil modifikasi dari generator listrik berbahan bakar minyak dengan kapasitas 5.000 watt atau 5 kilowatt. Agar aliran listriknya stabil untuk menyuplai lampu-lampu penerangan jalan, listrik yang dihasilkan PLTBg disimpan ke empat buah baterai yang masing-masing berkapasitah 100 ampere-jam.

Supomo menuturkan, seperangkat pembangkit listrik tersebut berasal dari tim akademisi dari Universitas Muhammadiyah Magelang. Perangkat tersebut mulai diupayakan pada 2020 dan mulai beroperasi hingga menyuplai listrik ke penerangan jalan di Dusun Dangean pada April 2021.

Bahan bakar biogas untuk menyalakan PLTBg itu berasal dari biodigester berukuran 8 meter kubik milik Supomo di dekatnya. Saban hari, Supomo rajin mengisi biodigester yang dibangun sejak 2014 tersebut dengan kotoran dari sapi perah milikinya. Pembangunan bodigester miliknya itu didampingi dan disubsidi oleh Yayasan Rumah Energi.

“Meski biogasnya dipakai untuk PLTBg, biogas sisanya masih cukup untuk dipakai memasak keluarga kami. PLTBg ini dinyalakan tempo enam jam sekali. Setiap kali menyala, waktunya satu jam,” ujar Supomo.

Supomo menuturkan, sebelum adanya PLTBg, lampu-lampu penerangan jalan dipasang sendiri oleh masing-masing warga di depan rumahnya, sehingga beban tarif listrik dibebankan kepada masing-masing rumah. Setelah adanya PLTBg itu, suplai listrik ke 30 lampu penerangan jalan tersebut sudah tidak dibebankan kepada pemilik rumah.

Setiap jamnya, energi listrik yang dihasilkan PLTBg sekitar 5 kilowatt-jam sesuai dengan kapasitasnya yakni 5 kilowatt. Mengacu pada tarif dasar listrik 2021 resmi dari PLN menurut golongan rumah tangga kecil (R-1/TR) dengan batas daya 901 – 1.300 Volt Ampere (VA), pelanggan dibebankan tarif Rp1.444,70/kilowatt-jam.

Bila dihitung secara kasar, mengacu pada tarif dasar listrik tersebut, potensi penghematan adalah sekitar Rp 7.223 jika digunakan untuk satu rumah jika konsumsi listriknya 5 kilowatt-jam per hari.

Bila digunakan untuk penerangan jalan seperti di Dusun Dangean, potensi penghematan dibagi rata untuk setiap rumah. Dari 30 lampu yang terpasang di Dusun Dangean, ada yang berdaya 12 watt hingga 18 watt. Jika dipukul rata lampu yang dipasang adalah 18 watt dengan nyala lampu sekitar 12 jam, maka konsumsi listriknya 6,4 kilowatt-jam.

Dengan acuan tarif dasar listrik yang sama, yakni Rp1.444,70/kilowatt-jam, potensi penghematan kumulatif adalah sekitar Rp 277.328 per bulan. Manfaat lain yang didapat dari PLTBg tersebut adalah bila terjadi pemadaman listrik, ke-30 lampu itu tetap menyala dan menerangi Dusun Dangean.

“Yang jelas masyarakat bisa menghemat, entah berapa rupiah. Karena sebelumnya, mereka harus mengeluarkan biaya untuk penerangan jalan di masing-masing depan rumah,” kata Supomo.

Supomo mengakui bahwa keterbasatan dana adalah salah satu hambatan pengembangan PLTBg di sana. Seperangkat PLTBg tersebut dibantu oleh tim dari Universitas Muhammadiyah Magelang. Namun, untuk memasang instalasi listrik supaya menjangkau lampu-lampu penerangan jalan, mereka perlu merogoh kantong sendiri.

Dalam memasang instalasi listrik supaya menjangkau lampu-lampu penerangan jalan dari biogas, kelompoknya memilih patungan. Terkumpullah uang sekitar Rp 20 juta untuk memasang instalasi listrik guna menyalurkan listrik yang dihasilkan dari PLTBg tersebut ke lampu-lampu di jalan.

Perjuangan Supomo dan kelompoknya tersebut berbuah manis karena listrik yang dihasilkan dari PLTBg itu masih menerangi jalan di Desa Dangean setiap malam. “Karena kami sudah berkomitmen untuk mengembangkan energi baru terbarukan,” kata Supomo.

Tak hanya itu, Supomo menuturkan kini ada beberapa kelompok lain yang mengunjungi Desa Dangean untuk mencari tahu bagaimana mengimplementasikan PLTBg. “Untuk informasi lebih lanjut soal perangkat (PLTBg) sudah dihubungkan ke teman-teman Universitas Muhammadiyah Magelang,” ujar Supomo.

Menurut Supomo, biogas untuk memasak juga tengah digencarkan di wilayahnya. Di Dusun Daengan, sudah ada tujuh unit biodigester yang dimiliki oleh para peternak sapi di sana. Baru-baru ini pula, Desa Gedangan menyabet juara III dalam ajang Penghargaan Desa Mandiri Energi Tingkat Jawa Tengah.

Supomo dan kelompoknya berniat untuk terus menggalakkan kemandirian energi di desanya dengan bertransisi menggunakan energi terbarukan.

Dosen Prodi Teknik Mesin Otomotif Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Magelang Bagiyo Condro Purnomo mengatakan, teknologi PLTBg yang dikembangkannya tersebut bisa direplikasi dan dudiplikasi di tempat lain. Dia menambahkan, PLTBg itu merupakan hasil modifikasi dari generator berbahan bakar minyak.

Bagiyo berujar, pembangkit listrik berbahan bakar minyak tersebut dimodifikasi melalui pemasangan mixer untuk mencampur udara dan biogas. Namun, dia mengakui masih perlu penelitian yang lebih mendalam mengenai mixer yang tepat agar bisa diadopsi lebih maksimal.

Untuk seperangkat PLTBg yang dikembangkannya tersebut, dana yang dibutuhkan sekitar Rp 20 juta yang meliputi satu unit pembangkit listrik, mixer, dua konverter, empat buah baterai basah, dan beberapa peralatan lain.

Dia menambahkan, PLTBg skala kecil sebenarnya sudah cukup banyak dipakai di peternakan luar negeri, seperti di Australia. Tetapi di Indonesia, dia mengakui bahwa teknologi tersebut di belum banyak dikembangkan.

Bagiyo menuturkan, potensi biogas untuk dikembangkan sebagai pembangkit listrik skala kecil sebenarnya sangat melimpah sebagai salah satu teknologi untuk bertransisi energi. Karena, sejauh pengamatannya, pemanfaatan biogas saat ini masih banyak digunakan untuk memasak.

Sejauh ini, kendala yang dia dan timnya hadapi adalah bagaimana mengoptimalkan sumber biogas untuk diubah menjadi listrik. Dia mencontohkan, untuk biodigester ukuran delapan meter kubik, hanya bisa menghidupkan PLTBg kapasitas 5 kilowatt tersebut sekitar satu sampai dua jam.

“Memang tidak banyak yang riset mengenai PLTBg. Mungkin perlu dibesarkan biodigesternya atau ditambah jumlah ternaknya supaya lebih optimal,” ujar Bagiyo, Senin (18/10/2021).

Bagiyo juga mendorong perlunya semakin banyak riset-riset terkait PLTBg tersebut agar teknologi itu bisa semakin masif dikembangkan di Indonesia.

Technical Field Assistant Yayasan Rumah Energi Jihan Ahmad As-sya'bani mengatakan, memang belum ada pabrikan yang membuat PLTBg skala kecil. Sehingga, untuk membuat pembangkit listrik dari tenaga biogas, perlu modifikasi dari teknologi yang telah ada seperti pembangkit listrik tenaga minyak.

Kondisi ini berbeda dengan skala industri yang telah memiliki teknologi PLTBg yang sudah matang. Biasanya, PLTBg skala besar ini digunakan untuk biodigester dengan ukuran di atas 100 meter kubik, bisa 500 meter kubik atau bahkan 1.000 meter kubik.

“Kalau untuk skala kecil memang belum ada pabrikan yang khusus memiliki produk PLTBg skala kecil. Jadi sejauh ini (pengembangan PLTBg skala kecil) sifatnya modifikasi dari generator listrik yang sudah ada,” kata Jihan, Senin (25/10/2021).

Kendati demikian, tantangan tersebut bukanlah hambatan untuk menerapkan PLTBg skala kecil. Menurutnya, PLTBg skala kecil sangat efektif diimplementasikan untuk daerah pedalaman di mana mayoritas penduduknya memiliki hewan ternak yang banyak.

“Misalnya, di daerah terpencil masyarakatnya kebanyakan pelihara hewan ternak 30 sampai 50 ekor sangat bisa untuk dijadikan (pembangkit) listrik. Atau mungkin di pulau terpencil,” ujar Jihan.

Selain itu, menurut Jihan emisi yang dihasilkan PLTBg dengan pembangkit listrik lain sangat rendah. Pasalnya, karbon dioksida yang dihasilkan dari pembakaran biogas di dalam generator tidak sebanyak pembakaran energi fosil lain seperti minyak.

Dia menggarisbawahi, PLTBg tersebut perlu diberikan perlakuan khusus seperti penambahan saringan sebelum bigas masuk ke dalam ruang bakar generator. Biogas terdiri atas berbagai macam gas campuran seperti hidrogen sulfida yang bersifat korosif dan karbon dioksida, selain metana tentu saja.

Jihan menambahkan, biogas yang keluar dari digester biasanya memiliki kemurnian metana sekitar 50 persen. Sehingga perlu penyaring untuk meningkatkan kemurnian metana dan meminimalkan hidrogen sulfida agar generator dalam PLTBg bisa lebih awet. (Bersambung...)

https://www.kompas.com/global/read/2021/10/30/050000870/lampu-jalan-di-desa-kami-ditenagai-listrik-dari-biogas-bagian-1

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke